Kasus Pekerja Indonesia Jadi Alasan Perubahan Aturan di Australia
- abc
Kasus seorang pekerja pemetik buah asal Indonesia yang mendapatkan perlakuan buruk di Australia telah dijadikan contoh bagi adanya perubahan aturan perburuhan di sini.
Perlakuan Buruk Pekerja di Australia:
- Rizky Oktaviana mendapat upah di bawah upah minimun bekerja sebagai pemetik buah
- Kasus Rizky digunakan sebagai contoh oleh pemerintah Victoria untuk mengubah peraturan
- Penyedia tenaga kerja bisa didenda Rp 5 miliar bila melanggar aturan
Pekerja itu bernama Rizky Oktaviana, 28 tahun, yang sebelumnya pernah menjadi awak kapal di Afrika Selatan, yang juga bekerja selama 18 bulan tanpa mendapat bayaran.
Rizky kemudian mendapat janji muluk untuk bekerja di Australia namun ketika tiba pada bulan Desember 2017, nasibnya tidak juga berubah.
Rizky mendapat pekerjaan sebagai pemetik buah cheri, apel dan buah-buahan lain di empat perkebunan di negara bagian Victoria selama enam bulan.
Upah yang diterimanya jauh di bawah upah minimum di Australia atau mendapat upah $AUD 50 (sekitar Rp 500 ribu) untuk pemetikan satu kantong besar.
Kondisi di perkebunan tempat Rizky bekerja juga tidak memadai, dengan tidak ada fasilitas toilet untuk para pekerja, sehingga kadang mereka harus buang air di ladang.
"Kadang mereka membayar saya satu jam $AUD 17, kadang dibayar per biji buah yang dipetik," katanya kepada kantor berita Australia AAP.
"Tapi ketika buah yang saya petik banyak, mereka lalu membayar saya dengan hitungan per jam, bukan per kantong," katanya.
Kasus yang dialami oleh Rikzy Oktaviana ini dijadikan contoh oleh Pemerintah Victoria guna mengubah aturan perburuhan.
Menteri Utama (Premier) Victoria Daniel Andrews mengangkat kasus Rizky ini dalam akun Facebooknya pada hari Kamis (2/5/2019).
"Rizky Oktaviana datang ke Victoria untuk mencari penghidupan yang lebih baik," tulis Dan Andrews.
"Namun Rizky justru mendapat perlakuan buruk karena posisinya yang lemah."
Oleh karena itu sejak hari Senin (29/4/2019), seluruh penyedia tenaga kerja di bidang pertanian harus memiliki lisensi.
Para penyalur tenaga kerja ini juga harus melewati pemeriksaan terkait penyediaan akomodasi, tempat kerja yang memadai, dan bila melanggar bisa dikenai denda maksimal $AUD 500 ribu (sekitar Rp 5 miliar).
"Kita akan menghukum operator yang tidak benar, dan melindungi pekerja karena tidak seorang pun di Victoria pantas mendapat perlakuan buruk," kata Dan Andrews lagi.
Di Australia, banyak lahan pertanian tergantung kepada operator penyedia tenaga kerja, dan sebagian dari mereka kemudian mengeksploatasi para pekerja ini, yang sebagian memang kadang datang secara gelap atau mau menerima upah rendah begitu saja.
Sejak kejadian yang dialaminya, Rizky Oktaviana sekarang sudah bekerja di sebuah peternakan ayam yang tidak melanggar hukum.
"Saya tidak mau orang lain mendapatkan perlakuan buruk di tempat kerja," katanya.
Simak berita-berita dari ABC Indonesia lainnya di sini