Jemaah Ahmadiyah Tak Golput Walau Pilih Calon Jelek dari yang Terjelek
- bbc
Sebelas tahun telah berlalu dan jemaah Ahmadiyah Parakansalak, Sukabumi belum bisa menggunakan masjid mereka yang disegel. Kedua kubu calon presiden dan para calon legislatif belum merangkul mereka. Tapi para jemaah berkomitmen untuk tidak golput.
Sore itu, keluarga Kamaal Ahmad, 24, terlihat sibuk mempersiapkan perayaan Isra Mi`raj yang akan diadakan jemaah Ahmadiyah, Desa Cidahu, Parakansalak, Sukabumi, Jawa Barat.
Kamaal dan ayahnya yang bekerja di Jakarta Barat sengaja kembali pulang ke rumah satu hari sebelumnya untuk merayakan Isra Mi`raj di kampung halaman.
Tangan Kamaal sibuk mengatur kameranya dan membidik ke sana ke mari untuk memastikan kamera itu bekerja dengan baik saat acara.
Sementara itu dari dapur, terdengar suara spatula kayu yang menumbuk panci berisi nasi uduk dan bumbu balado yang hampir masak di atas kompor.
Ibu Kamaal berdiri di sana, bersama beberapa perempuan lain, untuk memasak makanan yang kelak dibawa oleh jemaah Ahmadiyah selepas ibadah.
Sekitar pukul 19.00, puluhan jemaah Ahmadiyah berkumpul untuk beribadah di madrasah yang letaknya berhadap-hadapan dengan Masjid Al-Furqon, yang kini tidak lagi tampak seperti masjid.
Pintu dan jendela bangunan itu ditutup papan tripleks. Tembok masjid, yang bercat putih, tampak kusam dan kotor.
Setelah dibakar massa pada tahun 2008 dan disegel pada tahun 2016, masjid itu tidak lagi boleh dipakai untuk beribadah karena jemaah Ahmadiyah dicap menyimpang dari ajaran Islam.
Jemaah terpaksa melakukan kegiatan ibadah dan aktivitas lainnya di bangunan madrasah yang jelas lebih sempit. Namun, hal itu tidak mengurangi antusiasme mereka untuk beribadah dan berjemaah.
Perayaan Isra Mi`raj hari itu berjalan khusyuk. Kamaal berdiri di sudut ruangan, sibuk mengambil video dan foto jalannya ibadah.
Bagi Kamaal dan jemaah lain, pokok harapan mereka masih sama yakni mereka berharap bisa kembali beribadah di masjid mereka.
"Harapan ke depannya masjid bisa dibuka lagi, aktif lagi," ujar Kamaal.
Kamaal, yang kini mengerjakan laman Youtube untuk jemaah Ahmadiyah Parakansalak berharap video-video kegiatan masjid yang sudah dan akan diunggahnya di internet dapat membuka mata masyarakat tentang komunitas Ahmadiyah.
"Ini untuk menjelaskan kita tuh sama dengan yang lainnya, kegiatan Islam itu sama. Jemaah itu sama," kata Kamaal.
Pemimpin silih berganti, diskriminasi berlanjut
Saat masjid dibakar massa, Kamaal masih duduk di bangku SMP. Kejadian itu begitu membekas, kata Kamaal, karena sejak saat itu ia tak hanya kehilangan tempat mengaji, tapi juga tempat bermain dan berkumpul dengan teman-temannya.
Dia mengatakan dia ingat betul apa yang didengarnya di sekolah setelah kejadian itu.
"Pas istirahat, mereka (teman-teman SMP) ngumpul dan ngomongin (kejadian) itu. `Semalam saya ikut mecahin kaca, lempar molotov`," ujar Kamaal menirukan apa yang didengarnya dari teman-temannya sendiri.
"Ada rasa marah, kesal, tapi kami enggak diajarkan untuk balas dendam," ujar Kamaal.
Jamaah Ahmadiyah Parakansalak mengatakan mereka berharap untuk bisa kembali menggunakan masjid mereka. - BBC
Ketua perkumpulan ibu-ibu Ahmadiyah, Heni Herlina, mengatakan tak lama setelah kejadian pembakaran, jenazah Ahmadiyah ditolak di pemakaman warga Muslim sekitar. Akibatnya, kata Heni, jemaah Ahmadiyah memberi lahan sendiri untuk melakukan pemakaman.
Hingga kini, kata Heni, jemaah masih belum boleh mengumandangkan azan dengan pengeras suara. Jemaah yang mau naik haji, kata Heni, juga masih sering dipersulit sehingga mereka harus mendaftarkan diri di daerah lain.
Sukabumi sudah dipimpin dua bupati berbeda sejak insiden tahun 2008, juga dua presiden, tapi masalah ini tak kunjung tuntas.
Sejak tahun 2016 hingga saat ini, tensi antara jemaah dan non-jemaah Ahmadiyah di desa itu memang mereda, tapi tidak hilang seluruhnya. Jemaah masih berharap hak beribadah mereka bisa terpenuhi.
"Kami tuh sedih, tempat mengaji kok enggak diperbolehkan? Banyak orang yang mengatakan itu kandang ayam, enggak layak disebut masjid. Tapi kami pakai itu untuk menganggungkan Allah, mendidik generasi supaya soleh-soleha," kata seorang jemaah Ahmadiyah lain, Saidah Ahmad.
` Tidak akan golput `
Resistensi terhadap jemaah Ahmadiyah menguat di tahun 2005 setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa aliran Ahmadiyah sesat.
Saat itu, Ma`ruf Amin, calon Wakil Presiden yang digandeng Joko Widodo, adalah Ketua dari Komisi Fatwa MUI. Sebelumnya, di tahun yang sama, Kampus Mubarak yang merupakan sekretariat Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Parung, Bogor, dirusak ribuan massa, termasuk kelompok-kelompok Muslim konservatif.
Penyerangan berimbas ke daerah-daerah lain termasuk Parakansalak. Hingga saat ini, menurut Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yendra Budiana, setidaknya 15 masjid Ahmadiyah di Indonesia masih disegel.
Menentukan pilihan di pemilu mungkin tidak mudah bagi jemaah Ahmadiyah. Ma`ruf di kubu Joko Widodo berperan dalam penerbitan fatwa yang menuding mereka sesat. Di sisi lain, kubu Prabowo didukung beberapa kelompok Muslim konservatif yang kerap terlibat dalam upaya penyerangan masjid Ahmadiyah.
Jemaah Parakansalak mengatakan hingga kini, baik tim kampanye kubu Jokowi atau Prabowo, tidak ada yang mendekati mereka.
Di seluruh Sukabumi, jemaah menyebut jumlah pengikut Ahmadiyah mencapai lebih dari 2.000 orang. Sementara itu, JAI menyebut di tahun 2008, jemaah Ahmadiyah di Indonesia mencapai 500.000 orang, dan kemungkinan jumlahnya sudah meningkat saat ini.
Yendra Budiana mengatakan JAI belum memiliki data jumlah jemaah terbaru karena setelah kasus-kasus penyerangan, beberapa jemaah Ahmadiyah menutupi identitas mereka.
Meski begitu, seorang jamaah Ahmadiyah, Saidah Ahmad, mengatakan jemaah disarankan untuk tidak golput dan masing-masing dipersilakan memilih menurut hati nurani.
"Kalau orang itu memilih yang terbaik dari antara yang baik. Kalau kita memilih yang jelek dari yang terjelek... Pokoknya kami ada pegangan dalam hati nurani kami, tapi kami enggak akan membicarakannya dengan siapa pun karena golput bukan jalan terbaik juga," kata Saidah.
Sementara itu, meski sepanjang jalan Parakansalak kini dipenuhi spanduk dan umbul-umbul calon legislatif, tidak ada seorang pun dari mereka yang mencoba mendekati komunitas Ahmadiyah.
Jemaah Ahmadiyah lain, Heni Herlina, mengatakan mungkin calon-calon itu memang sudah paham kelompok Ahmadiyah diarahkan untuk tidak berpolitik.
Meski sepanjang jalan Parakansalak dipenuhi spanduk dan umbul-umbul calon legislatif, tidak ada seorang pun dari mereka yang mencoba mendekati komunitas Ahmadiyah. - AFP
Namun, ia menceritakan, seorang temannya yang kini menjadi caleg, sempat memintanya untuk mengkoodinir suara jemaah Ahmadiyah.
"Saya iseng-iseng nanya, `Bapak bisa enggak buka (masjid kami) lagi? (Dia) enggak bisa jawab," kata Heni.
Di tahun-tahun sebelumnya, setiap caleg yang mendekat jemaah Ahmadiyah dan ditanya pertanyaan yang sama selalu tidak bisa menjawab permintaan itu, ujarnya.
Apa kata para caleg?
Caleg dapil Sukabumi dari Partai Golkar, Dewi Asmara, mengatakan dia tidak tahu di mana basis teritorial jemaah Ahmadiyah di daerahnya dan dia belum terpikir untuk secara khusus mendekati mereka.
"Buat saya, semua warga sama, punya hak pilih. Enggak ada pendekatan khusus ke Ahmadiyah karena pendekatan saya secara teritorial. Kami basisnya desa, RT, RW, tidak membeda-bedakan agama atau kelompok," kata Dewi.
Caleg dapil Sukabumi dari Partai Gerindra, Heri Gunawan, yang juga anggota tim BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, mengatakan dia tidak akan berfokus untuk mengunjungi satu komunitas, tetapi berbagai komunitas.
"Kita enggak paham ini aliran apa, kita enggak mau pusing aliran begitu karena kita maunya kebersamaan," kata Heri.
Terkait dengan penyegelan masjid Ahmadiyah, Heri mengatakan hal itu merupakan ranah eksekutif, bukan legislatif.
Sementara itu, Bupati Sukabumi, Marwan Hamami, mengatakan keadaan masyarakat di Parakansalak sudah kondusif dan aman.
Ketika ditanya mengenai permintaan jemaah Ahmadiyah untuk kembali menggunakan masjidnya, Marwan menyarankan jemaah Ahmadiyah itu beribadah di masjid lain yang berada di desa mereka.
"Masjidnya banyak di Parakansalak. Gabunglah dengan yang lain. Mari kita bersama ulama- umaroh bersatu. Jangan sampai enggak berjamaah, rugi. Silaturahmi adalah kunci surga lho," katanya.
Isu minoritas sengaja dihindari
Ismail Hasani, Direktur Eksekutif SETARA Institute, mengatakan isu terkait kelompok agama yang terpinggirkan memang dihindari baik oleh kedua kubu calon presiden maupun calon anggota legislatif.
"Bagi pragmatisme politik, membela kelompok tertentu yang justru mendestruksi suara mereka, pasti dihindari. Mereka lebih memilih untuk berada di jalur aman untuk tidak mendiskusikan hal-hal seperti itu," ujar Ismail.
"Inilah bagian yang justru disayangkan, mestinya isu pelanggaran HAM jadi bagian inheren yang dibicarakan dalam konteks pilpres. Tapi, kedua calon presiden tidak mendiskusikannya secara baik," katanya.
Ia mengatakan komitmen calon legislatif sebenarnya penting karena jika terpilih, mereka dapat membantu kelompok agama minoritas memprakarsai revisi atau pencabutan Undang-undang No 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama, yang dianggap tidak sesuai dengan perspektif HAM.
Sepanjang tahun 2018, SETARA Institute mencatat 160 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan 202 bentuk tindakan, yang tersebar di 25 provinsi. Sebagian besar peristiwa pelanggaran terjadi di Jawa Barat, dengan 24 peristiwa.