Gadis Myanmar Dijual ke Keluarga di China Demi Lahirkan Anak Laki-Laki
- abc
Seng Moon masih berusia 16 tahun ketika ia diperdagangkan dari Negara Bagian Kachin di Myanmar ke China barat daya dan dijual ke keluarga China sebagai pengantin perempuan.
Keluarganya di Myanmar telah tinggal di sebuah kamp bagi para pengungsi setelah melarikan diri dari pertempuran antara Pemerintah Myanmar dan Tentara Kemerdekaan Kachin, yang pecah pada tahun 2011.
Perempuan yang kini berusia 21 tahun ini ingat, saudara iparnya pernah mengatakan kepadanya pada saat itu bahwa ia tahu pekerjaan sebagai juru masak di provinsi tetangga, yakni Yunnan, di China, dan bahwa upahnya jauh lebih besar daripada yang bisa ia dapatkan di pengungsian.
Keluarganya memutuskan mereka tak bisa melewatkan kesempatan itu dan ia segera menuju ke China dengan mobil bersama saudara perempuan iparnya.
Hal terakhir yang diingatnya adalah diberi obat anti-mabuk darat oleh kakak iparnya sebelum bangun dengan tangan terikat di belakang.
Ia akhirnya dibeli oleh keluarga China yang menguncinya di sebuah kamar selama dua bulan.
"Setiap kali pria China itu membawakan saya makanan, ia memperkosa saya," kata Seng Moon.
"Setelah dua bulan, mereka menyeret saya keluar dari ruangan."
"Ayah dari lelaki China itu berkata, "Ini suamimu, sekarang kalian adalah pasangan yang sudah menikah, bersikap baik satu sama lain dan bangunlah keluarga yang bahagia"."
Diminta lahirkan bayi
Kisah Seng Moon adalah kisah tipikal dari 37 korban perdagangan manusia yang diwawancarai untuk laporan LSM Human Rights Watch (HRW) yang dirilis Kamis (21/3/2019), berjudul "Beri kami seorang bayi dan kami akan membiarkan Anda pergi: Perdagangan "Para Pengantin" Kachin dari Myanmar ke Tiongkok".
Laporan setebal 112 halaman itu merinci perdagangan perempuan dan gadis semuda 14 tahun ke dalam perbudakan seks dari Kachin dan negara-negara bagian utara Shan, tempat mereka berhasil kembali.
Laporan itu mengatakan kebijakan satu anak China yang sekarang dihapuskan - yang telah menghasilkan sekitar 30 hingga 40 juta "gadis hilang" di China karena preferensi untuk anak laki-laki - sebagian besar telah mendorong permintaan untuk perempuan yang bisa dinikahi.
Supplied: Human Rights Watch
Dua belas orang yang diwawancarai berusia di bawah 18 tahun ketika mereka diperdagangkan; yang termuda berusia 14 tahun.
Heather Barr, wakil direktur hak asasi perempuan HRW, mengatakan bahwa Pemerintah Myanmar dan China harus melakukan lebih banyak hal untuk mencegah perdagangan orang, memulihkan dan membantu para korban, dan menuntut para pelaku perdagangan manusia.
"Salah satu kekhawatiran utama kami adalah bahwa rasanya masalah ini tidak banyak menjadi prioritas bagi penegakan hukum di kedua sisi perbatasan," katanya kepada ABC.
"Di Myanmar, ketika keluarga pergi ke polisi mengatakan bahwa anak perempuan mereka telah diperdagangkan, mereka sering ditolak bahkan dari polisi khusus anti-perdagangan manusia."
"Kadang-kadang mereka diminta suap, dan jika mereka tidak mampu membayarnya, maka polisi tidak siap untuk melakukan apa pun, atau kadang-kadang polisi menanggapi diplomatis - mereka akan mengatakan "kami akan membuat panggilan telepon ke polisi di China"."
Tetapi di China, para perempuan yang melarikan diri dan berhasil ke kantor polisi sering "diperlakukan seperti pelanggar imigrasi", kata Barr.
"[Mereka] dikurung selama beberapa hari atau beberapa minggu dan kemudian dideportasi tanpa upaya nyata untuk menyelidiki kejahatan dan menangkap para pedagang dan pembeli mereka," katanya.
Supplied: Human Rights Watch
Menurut para penyintas perdagangan manusia dalam laporan itu, para pedagang manusia termasuk orang-orang yang mereka percayai seperti anggota keluarga dan kerabat yang menjanjikan pekerjaan kepada mereka di China tetapi malah menjual mereka dengan harga $ 4.240 (atau setara Rp 42,4 juta) hingga $ 18.380 (atau setara Rp 183,8 juta) kepada keluarga-keluarga China.
Seorang pejabat Organisasi Kemerdekaan Kachin yang telah bekerja di bidang anti-perdagangan mengatakan kepada HRW pada tahun 2018 bahwa makelar dari Myanmar menerima persentase harga dari makelar China yang menjualnya kepada pria China.
Pejabat itu mengatakan harga ditentukan oleh seberapa cantik perempuan itu.
"Ini seperti perdagangan batu giok - jika batu giok adalah kualitas yang baik, kami membuat panggilan dan berdagang dari satu makelar ke makelar lain," katanya.
"Sama halnya dengan seorang gadis, diperdagangkan dari satu mucikari ke mucikari lainnya."
Supplied: HRW
Perdagangan manusia juga masalah di Indochina
Para ahli mengatakan perdagangan perempuan bukan hanya masalah bagi Myanmar, tetapi untuk beberapa negara lain yang berbatasan dengan China termasuk Vietnam, Kamboja dan Laos.
Mimi Vu, direktur advokasi dan kemitraan di Pacific Links Foundation, mengatakan kepada ABC bahwa Vietnam adalah salah satu daerah yang paling terkena dampak untuk perdagangan pengantin perempuan.
Meskipun sulit untuk mengetahui berapa banyak perempuan yang diperdagangkan ke China setiap tahun, ia mengatakan secara resmi ada sekitar 1.000 imigran yang kembali per tahun - tetapi jumlah itu tidak jauh dari jumlah total perempuan yang diperdagangkan.
"Vietnam juga tetangga China yang paling padat penduduknya di Asia Tenggara, kami memiliki sejarah, budaya yang sama, dan etnis minoritas yang tinggal di sepanjang perbatasan adalah sama ... sehingga kondisinya memungkinkan bagi orang Vietnam untuk diperdagangkan," katanya. .
"Lebih dari itu, ada reputasi di China tentang perempuan Vietnam yang diinginkan karena mereka dikenal sebagai pekerja keras.
"Anda juga tak bisa melepaskan diri dari masalah kulit - [orang Vietnam] memiliki kulit yang paling terang dari semua tetangga di sekitarnya dan warna kulit berperan dalam seluruh paket keinginan ini."
Meski perempuan-perempuan itu diperdagangkan di seluruh China, Pan Wang, dosen senior studi China dan Asia di Universitas New South Wales, mengatakan kepada ABC bahwa ada permintaan yang kuat di daerah pedesaan di mana laki-laki memiliki kesulitan yang paling besar untuk menemukan seorang istri.
Reuters: Soe Zeya Tun, file
Ini karena daerah-daerah itu secara tradisional disukai anak laki-laki dan kebijakan satu anak China berarti banyak ibu yang dilaporkan menggugurkan janin perempuan.
Dr Wang, yang juga penulis buku Love and Marriage in Globalising China (Cinta dan Pernikahan di China yang Mengglobal), mengatakan ada preferensi terhadap anak laki-laki di desa-desa karena mereka mengandalkan tenaga kerja untuk mendapatkan penghasilan.
"Secara budaya, desa lebih tradisional dan mereka memiliki preferensi anak yang kuat untuk meneruskan garis keluarga dan kekayaan keluarga," katanya.
Barr menambahkan bahwa di banyak komunitas di China, anak laki-laki secara tradisional tinggal bersama orang tua mereka dan mendukung mereka di usia tua, sementara anak perempuan tinggal bersama suami dan mertua mereka.
Perempuan dianggap barang
Selain dijual sebagai pengantin, Vu mengatakan perempuan juga telah dijual untuk keperluan lain.
"Anda harus melihat nilai seorang perempuan sebagai produk," katanya.
"Ia bisa dijual sebagai istri untuk melahirkan, bantuan rumah tangga, pelacur, kerja paksa, dan itu semua bisa digabungkan dalam satu paket."
"Kami memiliki perempuan muda yang kembali dari dijual ke sebuah keluarga, dan setelah mereka melahirkan seorang putra, mereka kemudian dijual ke keluarga lain."
"Jadi, keluarga awal yang membelinya mengembalikan investasi mereka."
Vu percaya masalah perdagangan perempuan semakin memburuk setelah hampir 40 tahun kebijakan satu anak - yang sekarang telah digantikan oleh kebijakan dua anak.
Supplied: Human Rights Watch
Ia mengatakan bayi perempuan yang lahir sekarang tidak akan memiliki usia menikah selama bertahun-tahun, dan preferensi yang kuat untuk anak laki-laki daripada anak perempuan juga perlu diubah.
Para ahli sepakat bahwa mengurangi jumlah perempuan yang diperdagangkan melintasi perbatasan membutuhkan pendekatan multi-cabang.
Laporan HRW merekomendasikan bahwa Pemerintah Myanmar dan China perlu memberikan perhatian yang lebih besar pada perdagangan "pengantin", termasuk upaya bertarget untuk pencegahan, penyelamatan dan membantu para korban, dan mendeteksi serta menuntut para pelaku dan pembeli.
Pemerintah juga perlu bekerja sama dan memperkuat upaya di dan dekat perbatasan untuk meningkatkan kesadaran akan risiko perdagangan, katanya.
ABC menghubungi Pemerintah Myanmar dan China untuk memberikan komentar, namun belum ada tanggapan.