Yongbyon, Kompleks Nuklir Penentu Gagalnya Kesepakatan Trump dan Kim
- Repro 38 North Org
VIVA – Masa depan kompleks nuklir Yongbyon milik Korea Utara yang berusia puluhan tahun menjadi isu di meja perundingan Hanoi pada Kamis 28 Februari 2019, dalam pertemuan puncak antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan pemimpin tertinggi Korut Kim Jong-un.
Sebagai titik penting dalam diskusi tersebut, Trump mengatakan, Kim bersedia untuk membongkar fasilitas nuklir itu dengan catatan sanksi internasional yang dijatuhkan atas Korut harus dicabut.
"Pada dasarnya mereka ingin sanksi dicabut seluruhnya dan kami tidak bisa melakukan itu," kata Trump pada konferensi pers usai melakukan pertemuan dengan Kim. Pertemuan tersebut berakhir tanpa kesepakatan.
Terletak sekitar 100 kilometer di utara Pyongyang, Yongbyon terdiri atas puluhan bangunan yang terkait dengan program senjata nuklir Korea Utara.
Dibuka pada 1986, Yongbyon menjadi rumah bagi reaktor nuklir pertama Korut dengan kapasitas lima megawatt dan merupakan satu-satunya sumber plutonium yang diketahui, untuk program senjata Korut.
Di kompleks itu juga dihasilkan berbagai bahan bakar utama lain untuk bom nuklir seperti uranium dan tritium. Menurut laporan Stanford Centre for International Security and Cooperation tahun 2019, tempat itu bahkan telah berkembang baru-baru ini.
Laporan oleh peneliti nuklir terkemuka Siegfried Hecker yang telah mengunjungi Yongbyon empat kali, mengatakan, kompleks itu menghasilkan bahan yang cukup untuk lima hingga tujuh bom atom pada 2018.
Dilansir dari Channel News Asia, Jumat 1 Maret 2019, Yongbyon tidak diyakini sebagai satu-satunya fasilitas pembuatan uranium Korea Utara. Menutup kompleks itu tak akan dengan sendirinya menandakan berakhirnya program atom Korut.
Intelijen AS meyakini negara terisolasi itu memiliki setidaknya dua pabrik uranium lainnya yaitu satu di dekat Kangson tepat di luar Pyongyang dan satu lagi di lokasi yang dirahasiakan.
"Penutupan Yongbyon mungkin akan memperlambat perkembangan persediaan bahan bakar Korut, tapi tidak akan membatasi itu," kata Jeffrey Lewis, seorang peneliti di Middlebury Institute of International Studies.
Ketika Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in, pergi ke Pyongyang untuk bertemu dengan Kim pada September tahun lalu, Korea Utara menawarkan penghancuran Yongbyon secara permanen. Tetapi hanya jika Amerika Serikat juga melakukan langkah yang sesuai.
Korut ingin AS membuat langkah demi langkah untuk mengangkat sanksi. Sementara itu, AS bersikeras bahwa sanksi harus tetap diberlakukan sampai denuklirisasi dilakukan secara lengkap.
Sebelumnya, Pyongyang telah setuju untuk perlahan menutup Yongbyon pada masa lalu. Reaktor utama ditutup pada 1994 berdasarkan perjanjian dengan AS. Tapi, kompleks itu dibuka kembali pada 2003 setelah kesepakatan itu dibatalkan.
Perjanjian lain untuk mematikan reaktor juga sudah ditandatangani pada 2007 dan Korea Utara meledakkan menara pendingin sebagai tanda komitmennya. Namun, kesepakatan itu juga berakhir berantakan ketika hubungan memburuk. Korut mengaktifkan kembali reaktornya dengan mendinginkannya dengan air sungai. (art)