Shamima Begum dan Kisah Orang-orang Dicabut Kewarganegaraannya

Shamima Begum meninggalkan Inggris di 2015 untuk bergabung dengan ISIS di Suriah
Sumber :
  • LONDON METROPLITAN POLICE

Seseorang tanpa kewarganegaraan adalah seseorang yang tidak diakui sebagai warga negara suatu negara sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku di negara tersebut, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dengan kata lain, seseorang yang tidak memiliki kewarganegaraan dari negara apa pun atau stateless.

Kebanyakan orang mendapat kewarganegaraan sejak lahir, sesuai dengan negara tempat dia lahir atau sesuai warga negara orang tuanya.

Namun, merujuk pada data tahun 2014, PBB memperkirakan sekitar 10 juta orang di seluruh dunia tak memiliki kewarganegaraan.

Banyak dari mereka merupakan komunitas etnis yang mengalami diskriminasi atau subjek dari perubahan regulasi.

Shamima Begum dan debat tentang kewarganegaraan

Diperkirakan ada 800 ribu orang Rohingya hidup tanpa kewarganegaraan di Myanmar.

Sementara itu, puluhan ribu orang Haiti hidup tanpa kewarganegaraan di Republik Dominika setelah keputusan hukum melarang anak-anak imigran tanpa dokumen yang lahir sejak 1929 untuk memiliki kewarganegaraan Dominika.

Ada juga orang-orang yang menjadi tanpa kewarganegaraan akibat perang atau konflik politik. Terkadang mereka adalah pengungsi, tetapi tidak semua pengungsi tanpa kewarganegaraan.

Bahkan ada orang tanpa kewarganegaraan yang tidak pernah melewati perbatasan internasional, mereka mungkin etnis minoritas, negara mereka mungkin sudah tidak ada lagi, tanah yang mereka tinggali berpindah tangan atau bangsa mereka kalah perang.

Dan di lain waktu, sejumlah orang orang kehilangan kewarganegaraan karena negara mencabut hak itu.


Begum berusia 15 tahun dan tinggal di London ketika dia pergi ke Suriah pada 2015 - PA

Shamima Begum—pelajar Inggris yang kabur dari London untuk bergabung dengan ISIS di Suriah—baru-baru ini dicabut kewarganegaraan Inggrisnya setelah mengungkapkan harapannya untuk kembali ke kampung halaman.

Pencabutan kewarganegaraan ini dimungkinkan jika yang bersangkutan memenuhi syarat untuk menjadi warga negara di negara lain.

Menteri Dalam Negeri Inggris, Sajid Javid, memperkirakan Begum bisa menjadi warga negara Bangladesh karena dia dilahirkan oleh seorang ibu yang diyakini sebagai warga Bangladesh.

Namun, Kementerian Luar Negeri Bangladesh mengatakan Begum bukan warga negara Bangladesh dan "tidak ada pertanyaan" tentang apakah dia diperbolehkan masuk ke negara itu.

Pakar hukum mengatakan kepada BBC bahwa di bawah hukum Bangladesh, warga negara Inggris seperti Begum, jika lahir dari orang tua Bangladesh, secara otomatis juga warga negara Bangladesh.

Namun kewarganegaraan Bangladesh hilang ketika seseorang mencapai usia 21 (Begum kini masih berusia 19 tahun), kecuali mereka berupaya mengaktifkan dan mempertahankan kewarganegaraan tersebut.

Hak apa saja yang dimiliki oleh orang tanpa warga negara?

Ini bukan untuk pertama kalinya pemerintah Inggris mencoba untuk mencabut kewarganegaraan seseorang.

Pada 2017, pemerintah Inggris kalah dalam sidang banding yang diajukan oleh dua warga negara Inggris asal Bangladesh yang dicabut kewarganegaraannya karena mereka berada di luar negeri.

"Menjadi tanpa kewarganegaraan biasanya berarti tidak memiliki dokumen identitas," kata Ruma Mandal, seorang pakar hukum internasional di institut penelitian kebijakan luar negeri Chatham House.

Jadi, hak asasi dasar apa yang dimiliki orang tanpa kewarganegaraan?

Dan siapa yang menjamin hak-hak mereka terpenuhi?


Diperkirakan ada 800.00 orang Rohingya hidup tanpa kewarganegaraan di Myanmar - Getty Images

Tanpa kewarganegaraan, siapa yang akan mengeluarkan paspor, bahkan menyatakan identitas Anda, atau menjamin akses ke kesehatan, tempat tinggal dan pendidikan?

Tanpa paspor atau dokumentasi yang sah, bepergian lintas perbatasan secara legal jelas tidak mungkin.

Mereka juga kesulitan mendaftarkan kelahiran anak, akses ke sekolah dan rumah sakit, mendapat pekerjaan atau dibayar, menerima keuntungan, bahkan menyewa atau membeli rumah.

`Penentuan kewarganegaraan`

Beberapa negara Uni Eropa memiliki sistem yang dikenal sebagai "penentuan kewarganegaraan", dengan memberikan dokumen kependudukan kepada orang tanpa kewarganegaraan dan kesempatan untuk bepergian ke luar negeri.

Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) menginginkan lebih banyak negara untuk mengadopsi ini, tetapi ini bukan praktik yang tersebar luas.

Pada tahun 1954, PBB membuat konvensi untuk menetapkan standar minimum perawatan bagi orang yang tidak memiliki kewarganegaraan: yaitu hak atas pendidikan, pekerjaan dan perumahan.

Ini juga menjamin orang tanpa kewarganegaraan hak untuk identitas, dokumen perjalanan dan bantuan administrasi.

Sebuah konvensi baru pada tahun 1961 yang bertujuan untuk mencegah dan mengurangi jumlah orang tanpa kewarganegaraan, membangun kerangka kerja internasional untuk memastikan hak setiap orang atas kewarganegaraan.

Konvensi tersebut juga menetapkan bahwa anak-anak harus memperoleh kewarganegaraan dari negara di mana mereka dilahirkan jika mereka tidak memperoleh kewarganegaraan lain.

Ketentuan itu mengharuskan negara menetapkan perlindungan penting untuk mencegah mereka hidup tanpa kewarganegaraan.


Hoda Muthana, dari Alabama, meninggalkan Amerika Serikat untuk bergabung dengan ISIS - AFP

Namun, konvensi itu juga menetapkan kesempatan langka ketika negara dapat mencabut kewarganegaraannya, meskipun ini bisa membuat mereka menjadi tak bernegara.

Dan ada orang yang kehilangan kewarganegaraan setelah beberapa tindakan diambil terhadap mereka.

Pada tahun 2003, ulama radikal Muslim yang kontroversial, Sheikh Abu Hamza, dicabut kewarganegaraannya di Inggris.

Keputusan itu muncul setelah pemerintah Inggris berwenang menghapus kewarganegaraan jika seseorang yang memiliki kewarganegaraan ganda diyakini telah bertindak melawan kepentingan vital Inggris.

Namun pada tahun 2010, Abu Hamza memenangkan banding terhadap putusan tersebut, dengan alasan bahwa ia akan dibiarkan "tanpa kewarganegaraan" karena ia telah kehilangan kewarganegaraan Mesir.

Bagaimana AS menangani pengantin ISIS?

Perdebatan tentang apa yang harus dilakukan dengan warga negara yang ingin kembali dari Suriah setelah bergabung dengan kelompok Negara Islam juga berkecamuk di AS.

Hoda Muthana, adalah seorang perempuan berusia 24 tahun yang dibesarkan di Alabama tetapi melakukan perjalanan ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS ketika dia berusia 20 tahun.

Muthana sekarang memiliki seorang putra berusia 18 bulan dan ingin kembali ke AS. Dia bilang dia sangat menyesal bergabung dengan ISIS dan telah meminta maaf atas unggahannya di media sosial, di mana dia mempromosikan ISIS dan tujuan kelompok militan itu.

Tetapi Presiden AS Donald Trump mengatakan dia meninggalkan AS untuk menjadi propagandis bagi ISIS dan tidak akan diizinkan untuk kembali.

Melalui akun Twitter miliknya, Trump mengatakan telah menginstruksikan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo "untuk tidak mengizinkan Hoda Muthana kembali ke negara itu."

Pompeo sebelumnya menyatakan bahwa Muthana bukan warga negara AS dan tidak akan diterima.

Namun, keluarga dan pengacara Muthana menyatakan bahwa dia memiliki kewarganegaraan AS. Mereka menyebut Muthana menginginkan proses hukum dan bersedia masuk penjara jika terbukti bersalah.

"Kita tidak bisa sampai pada titik di mana kita hanya melepaskan kewarganegaraan dari mereka yang melanggar hukum. Bukan itu yang dimaksud dengan Amerika," katanya.

Namun, Pompeo mengatakan Muthana "tidak memiliki dasar hukum, tidak memiliki paspor AS yang sah, tidak memiliki hak atas paspor dan visa untuk bepergian ke Amerika Serikat."

Pompeo berkata, "Hoda Muthana bukan warga negara AS dan tidak akan diterima di Amerika Serikat."