Ismail Marzuki Masih Bersyukur atas Musibah Amputasi Kaki di Melbourne

Ismail Marzuki di kursi roda listrik di depan hotelnya di Melbourne.
Sumber :
  • abc

Empat tahun setelah kecelakaan yang mengubah hidupnya, Ismail Marzuki masih bisa mengucap syukur karena walau kehilangan kaki kirinya, dia tetap bisa melakukan kegiatan dan memiliki usaha untuk menghidupi diri dan keluarganya.

Pagi 11 Juni 2014 tidak akan pernah terlupakan dalam ingatan Ismail.

Pagi itu sekitar pukul 4 pagi, dia tiba di Bandara Tullamarine Melbourne untuk menaiki pesawat ke Indonesia.

Namun ketika turun dari mobil yang membawanya, sebuah taksi di belakang mobilnya menabrak Ismail.

Ismail Marzuki mencoba kaki palsu barunya di Rumah Sakit...

Space to play or pause, M to mute, left and right arrows to seek, up and down arrows for volume.

Ismail Marzuki mencoba kaki palsu barunya di Rumah Sakit Royal Melbourne ( Indonesian )

Taksi itu dikemudikan seorang pengemudi asal Turki yang belakangan mengaku salah menginjak gas, padahal ingin menginjak rem.

Karena kecelakaan tersebut, kaki kiri Ismail harus diamputasi dari lutut ke bawah.

Dia juga sempat kehilangan suara, sehingga harus menjalani operasi untuk memperbaiki pita suara tersebut.

Padahal Ismail saat itu sebenarnya hanya transit karena dia sebelumnya bekerja di sebuah kapal angkutan minyak yang berlabuh di Geelong, sekitar 1 jam dari Melbourne.

"Sebelumnya kami hendak dipulangkan dari Singapura, tapi karena kapal itu tujuan akhirnya adalah Geelong, maka kami diminta untuk terus sampai ke Australia dan baru pulang dari sana," kata Ismail yang sekarang berusia 37 tahun.


Ismail Marzuki dengan kaki palsu yang membantunya untuk berjalan dengan normal

Foto: ABC, Sastra Wijaya

 

Empat tahun enam bulan kemudian, Ismail kembali lagi ke Melbourne di awal Desember 2018. Dia akan mencoba kaki palsu baru dan memperbaiki kursi roda listriknya yang rusak.

"Semua biaya perawatan sampai saya meninggal dunia nanti ditanggung oleh TAC (Traffic Accident Commision) Australia. Jadi apapun permaasalahan yang saya hadapi akan saya konsultasikan ke pengacara yang kemudian menghubungi TAC," ujar Ismail kepada wartawan ABC Australia Sastra Wijaya dalam percakapan hari Selasa (3/12/2018) di salah satu hotel di Melbourne.

Ayah dari dua anak laki-laki tersebut sekarang memiliki usaha cuci mobil di kota tempat tinggalnya, Muara Dua, di Sumatera Selatan, sekitar enam jam perjalanan darat dari Palembang.

"Usaha itu saya beli dari paman sendiri, dari dana yang saya terima dari TAC tahun lalu," katanya lagi.

TAC adalah lembaga yang didirikan pemerintah Australia untuk menangani masalah yang berkenaan dengan transportasi termasuk mengurusi mereka yang terkena kecelakaan.

Salah satu keunikan dari kasus Ismail adalah ketika dia mengalami kecelakaan, dia belum pernah tinggal di Australia sama sekali.

Dia dalam perjalanan transit, dan hanya berada di wilayah Australia selama beberapa jam. Namun karena kecerobohan supir taksi tersebut terjadi di Australia, bukan karena kesalahan Ismail maka dia berhak mendapat kompensasi.

"Tahun lalu atas saran dari pengacara, saya menerima tawaran kompensasi yang diajukan TAC," katanya.

"Semula saya bermaksud membawa kasus ini ke pengadilan. Namun menurut pengacara, hal terbaik adalah jangan membawanya ke pengadilan karena di pengadilan tuntutan saya belum tentu dimenangkan," tambahnya.


Ismail Marzuki bersama Eliza Tan dan Henry Carus dari kantor pengacara yang membantunya berurusan dengan TAC Australia

Foto: Istimewa

Ismail akhirnya mendapat kompensasi dalam jumlah yang cukup untuk bisa menghidupi keluarganya seumur hidup, bila uang digunakan dengan hati-hati.

"Alhamdulilah, sebagian uangnya saya belikan usaha cuci mobil itu," katanya.

"Sekarang saya mempekerjakan 6 orang, dua di antara pegawai saya itu tidak memiliki orangtua lagi," tambahnya.

"Saya juga bisa membiayai kedua orangtua dan kedua mertua saya pergi umroh," kata Ismail.

Setelah kecelakaan dan mendapatkan kompensasi, Ismail memutuskan untuk menggunakan apa yang dimiliknya untuk membantu orang lain.

"Semua pegawai saya tinggal di rumah bersama-sama. Istilahnya orang Palembang, kalau saya makan ayam, mereka juga makan ayam. Kalau saya makan garam, mereka juga makan garam," tuturnya.

"Jadi saya bersyukur, dari apa yang saya alami sekarang saya bertekad di sisa masa hidup saya untuk membantu yang lain," katanya.

Banyak orang yang membantu

 

Setelah peristiwa nahas tersebut, Ismail menjalani perawatan di Rumah Sakit Royal Melbourne. Sampai sekarang dia sudah bolak-balik delapan kali mengunjungi Australia, baik untuk urusan kesehatan maupun urusan kompensasi atas kecelakaan itu.

Ismail mengaku merasa beruntung bahwa dalam perjalanan itu dia mendapat bantuan dari berbagai pihak.

"Saya mendapat bantuan dari seorang wanita asal Singapura di Melbourne yang membantu mengenalkan kepada pengacara Henry Carus, yang sampai sekarang mengurus masalah yang saya hadapi," katanya.

Karena keterbatasan Bahasa Inggrisnya, Ismail yang lulusan SMA ini mendapat bantuan seorang warga Indonesia yang bekerja di kantor pengacara Henry Carus, Eliza Tan.

"Tuhan sangat baik kepada saya, Alhamdulilah. Jadi dalam berkomunikasi dengan pengacara, ada ibu Eliza yang bisa berbahasa Indonesia, semuanya jadi lancar," kata Ismail lagi.

Selama dirawat beberapa waktu di RS, Ismail juga mendapat bantuan warga Indonesia di Melbourne maupun dari pihak KJRI.

"Dulu saya tidak mengenal mereka, sekarang semua orang yang membantu saya sudah menjadi saudara," ujarnya.

Walau merasa bersyukur, Ismail mengungkapkan terkadang perasaan sedih membersit bila mengingat peristiwa yang dialaminya.

"Terus terang saja, kalaupun saya diberi uang Rp 10 miliar dengan kaki terpotong seperti ini, saya akan memilih kaki meski tak memiliki uang," kata pria kelahiran Palembang tersebut.

Kemandirian hidupnya terganggu karena dia tidak bisa melakukan banyak hal tanpa bantuan orang lain.

"Yang jelas saya tidak bisa lagi bekerja yang membutuhkan fisik seperti menjadi anak buah kapal (ABK) yang dulu saya jalani," katanya.

"Bahkan di rumah dalam kehidupan sehari-hari saya kadang harus meminta bantuan istri, anak atau pegawai untuk membantu," tambahnya.

Namun berkat alat bantu seperti kursi roda listrik maupun kaki palsu, Ismail masih bisa menjalani kehidupan sehari-hari semaksimal yang diinginkannya.

"Ya, sehari-hari saya masih bisa menggunakan kursi roda listrik ini ke pasar. Masih bisa mengendarai mobil, mengantar anak-anak ke sekolah," kata Ismail Marzuki.


Ismail Marzuki ketika menjalani terapi tidak lama setelah kakinya diamputasi di tahun 2014

Foto: ABC