Parlemen Australia Godok UU Anti Perbudakan Modern

UU Perbudakan Modern yang diusulkan akan memaksa pengusaha mengevaluasi rantai pasokan mereka.
Sumber :
  • abc

Di Australia, pihak oposisi Partai Buruh menyebut perubahan yang diusulkan ini ‘tidak bergigi’, namun mereka berencana untuk memberikan dukungan bagi UU Anti Perbudakan Modern yang diajukan pemerintah.

Jika berhasil disahkan, undang-undang ini akan memaksa sekitar 3.000 pengusaha di Australia dengan omset tahunan sebesar $ 100 juta atau lebih akan perlu mengungkapkan identitas dalam rantai pasokan mereka, dan melaporkannya kepada pihak berwenang.

"Bisnis kemudian harus merinci langkah apa yang telah mereka lakukan, akan lakukan, untuk mengatasi risiko ini," kata Asisten Menteri Dalam Negeri Alex Hawke.

"RUU ini akan memungkinkan bisnis besar, konsumen, masyarakat sipil dan pemerintah untuk bekerja sama untuk menghilangkan perbudakan modern dalam rantai pasokan."

Unit Pelibatan Perbudakan Modern dalam bisnis, beranggaran $ 3,6 juta, akan menyiapkan persyaratan pelaporan dan dukungan bagi 3.000 pengusaha di  Australia yang terkena dampak.

Perbudakan modern termasuk di mana orang dipaksa menjadi pelacur, atau dipaksa bekerja dengan dibayar upah rendah dalam bidang konstruksi, pabrik pakaian atau rantai pasokan makanan.

Hal ini juga dapat termasuk pembayaran upah yang kurang, ditolak perpanjangan visa oleh majikan atau dipaksa untuk tinggal di akomodasi yang kotor.

Desakan penerapan sanksi

Juru bicara Kehakiman dari oposisi Clare O"Neil mengatakan RUU itu lemah karena tidak menetapkan hukuman bagi perusahaan yang menolak melaporkan perbudakan dalam rantai pasokan mereka.

"Seharusnya ketentuan ini tidak opsional dalam memutuskan apakah Anda mengikuti undang-undang atau tidak," katanya.

"Hukuman yang didesak untuk diberlakukan oleh Partai Buruh tidak ditujukan kepada perusahaan yang mendapati adanya praktek perbudakan modern dalam rantai pasokan mereka, karena bisnis yang menemukan perbudakan dan melakukan sesuatu mengenai hal itu harus dihargai," katanya.

"Kami berbicara tentang pengusaha yang bahkan tidak peduli dengan tindakan perbudakan modern, karena jika mereka tidak dapat peduli dalam membuat laporan saja, maka saya pikir mereka harus dihukum."

Seorang juru bicara departemen Kehakiman kepada ABC mengatakan aturan sanksi itu tidak tidak diperlukan untuk memastikan bisnis mengikuti hukum, tetapi hukum akan ditinjau dalam tiga tahun untuk melihat apakah itu berhasil.

Partai Buruh juga mengkritik RUU itu karena tidak membentuk komisioner perbudakan modern yang independen, mirip dengan model Inggris, dan akan melobi untuk peran yang akan dibuat.

"Kami ingin RUU ini dilanjutkan dengan dukungan bipartisan, jadi kami mendorong RUU yang melakukan apa yang dikatakannya coba lakukan, yaitu untuk mengatasi perbudakan modern," katanya.

Perbudakan modern memiliki banyak bentuk

PBB memperkirakan 25 juta orang dieksploitasi dalam rantai pasokan global, termasuk di bidang pertanian, manufaktur dan industri konstruksi, dan sekitar 4.000 di antaranya diperkirakan berada di Australia.

Perbudakan modern di luar negeri memiliki beberapa bentuk. Hal ini dapat merujuk pada orang yang dipaksa menjadi pelacur, atau dipaksa bekerja untuk upah rendah dalam konstruksi, sweatshop atau rantai pasokan makanan.

Mereka dapat dipaksa untuk bekerja melalui ancaman kekerasan, penindasan, atau dalam kasus yang lebih ekstrim mereka dapat benar-benar diperjualbelikan, atau dibatasi oleh gerakan mereka.

Di Australia, hal itu lebih umum terjadi di sektor hortikultura, terutama dengan para backpacker yang dibayar rendah, ditolak perpanjangan visa oleh majikan mereka atau dipaksa untuk tinggal di akomodasi yang kotor.

Mark Lamb, dari badan puncak global untuk pengadaan, Chartered Institute of Procurement and Supply (CIPS), mengatakan undang-undang itu menunjukkan bahwa Australia serius menangani perbudakan modern di dalam dan luar negeri.

"Saya pikir ini adalah langkah pertama yang sangat baik bagi Australia karena kami telah melihatnya diterapkan di negara lain, dan bagi Australia untuk menerapkan ini merupakan langkah maju yang besar," katanya.

Survei menunjukkan banyak hal untuk dipelajari

Pada bulan Mei CIPS merilis hasil survei perbudakannya, yang menemukan sebagian besar manajer pengadaan tidak siap untuk persyaratan pemerintah yang baru.

Dalam survey itu, 45 persen manajer pengadaan setuju bahwa undang-undang diperlukan, tetapi seperempat dari semua responden khawatir hal itu akan berdampak kecil.

Pada saat survei, 20 persen organisasi tidak mengambil langkah apa pun untuk memastikan rantai pasokan bebas perbudakan, tetapi 80 persen mengatakan mereka termotivasi untuk mengatasi masalah ini karena risiko reputasi mengabaikannya.

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.