Peran 4 Pemimpin dalam KTT Trump-Kim, Siapa Pegang Kendali

- BBC/Davies Surya
Sumber :
  • bbc

Hari ini, perhatian dunia terpusat pada pertemuan bersejarah antara Donald Trump dan Kim Jong-un di Singapura.

Pusaran diplomasi telah membawa dunia menuju titik ini, dan ada empat pemimpin yang bisa diakui berjasa karena berhasil membuat pertemuan tak terbayangkan ini menjadi mungkin.

Tapi siapa yang sebenarnya mengatur drama politik tingkat tinggi ini? Berikut ini adalah empat skenarionya.

Kim Jong-un, dalang yang lihai

Pemimpin Korea Utara ini ingin mencapai apa yang tak pernah bisa dicapai kakek dan ayahnya -pertemuan dengan presiden Amerika- yang di matanya, adalah jalan untuk memastikan legitimasinya.

Ini juga akan menunjukkan usahanya mewariskan kemajuan ekonomi yang sangat dibutuhkan negaranya, dan Kim Jong-un tentunya mengincar hal itu.

Untuk mencapai ambisi yang lama tersimpan ini, dia secara dramatis telah mengubah citranya dari pria keras yang pemarah dan terkucil, menjadi negarawan internasional.

Setelah pembicaraan retoris berbulan-bulan dan dengan kemajuan proyek nuklir yang jelas, Kim menggunakan pidato tahun baru untuk membuka dialog dengan Korea Selatan. Hubungan mereka membaik dengan cepat, berujung pada pertemuan pertama kedua pemimpin Korea dalam lebih dari satu dekade.

Kim mengendalikan jalannya proses ini.

Mengirim delegasi ke Olimpiade Musim Dingin membantu meningkatkan citra Korea Utara. Dan kita semua ingat bagaimana dia menggandeng tangan Presiden Korea Selatan ketika mereka bertemu di perbatasan dua negara, dan mengarahkannya masuk ke wilayah Korea Utara, di KTT April lalu.

Ketika Trump secara dramatis membatalkan pertemuan, marah karena Korea Utara menyebut wapresnya "bodoh" -- Kim Jong-un kembali dengan lincahnya menggiring pendekatan kembali.

Pemimpin muda Korea Utara itu berhasil masuk ke panggung dengan dukungan dua hal: kemampuan nuklirnya yang tak terduga, dan presiden Amerika yang tidak konvensional.

Dengan memanfaatkan dua kebetulan itu, dia berhasil membawa AS ke meja perundingan.

Apalagi, dia memastikan bahwa perhatian komunitas internasional difokuskan pada rudal dan senjata nuklir, sehingga mereka pasti tak akan bicara tentang hak asasi manusia di pertemuan-pertemuan ini.

Meski demikian, banyak pengamat meragukan niat damai dari pemimpin yang penuh perseteruan itu. Direktur Keamanan Internasional Lowy Institute Euan Graham menyebut Kim hanya menjalankan permainan klasik Korea Utara, yaitu berayun dengan cepat dari provokasi ke dialog, dan sebaliknya. Dia bisa kembali lagi ke provokasi.

Donald Trump, pembuat kesepakatan utama

Presiden Amerika Serikat Donald Trump memposisikan diri sebagai satu-satunya orang yang bisa mengatasi ancaman Korea Utara, dan dengan melakukan itu, mendeklarasikan bahwa kedamaian dunia akan segera tercapai. Dia menyebutnya sebagai pendekatan "tekanan maksimum" yang memungkinkan ada terobosan baru yang selama ini tidak dapat dilakukan presiden Amerika sebelumnya.

Trump pernah berkata bahwa dia akan meninggalkan pertemuan jika dia tidak suka arahnya. Dan dia pun benar-benar melakukannya. Trump menyebut bahwa "kekerasan nyata" memaksanya menarik diri dari pertemuan.

Kemudian Trump menafsirkan usaha Korea Utara untuk membuatnya tetap bertahan sebagai sebuah kemenangan, tapi juga untuk mengatur ulang syarat-syarat pertemuan. Hal itu memberinya ruang lebih untuk berubah dari meminta Korea Utara menyerahkan seluruh senjata nuklirnya, sampai penerimaan bahwa itu adalah proses yang bertahap.

Trump telah memenangkan dua pertunjukan untuk diperlihatkan kepada penonton domestiknya. Dia menyambut tiga tahanan Amerika yang dibebaskan oleh Korea Utara, dan menunjukkan bahwa Pyongyang telah menghancurkan area uji nuklirnya.

Jajak pendapat menunjukkan bahwa warga Amerika, dari pendukung kedua partai utama - setuju dengan cara Trump menangani Korea Utara.

Moon Jae-in, penengah yang ramah

Pemimpin Korea Selatan ini pemain paling lama dalam drama ini. Pada 2007, dia adalah staf tertinggi Presiden Roh Moo-hyun pada pertemuan kedua pemimpin Korea yang terakhir.

Moon ingin penyatuan kedua Korea menjadi warisan pemerintahannya, dan sebagian faktor kenapa dia terpilih jadi pemimpin adalah karena dia memang menjanjikan membawa Korea ke arah itu. Maka, Moon pun mengambil peran sebagai mediator.

Tekad Moon untuk menyenangkan Washington dan Pyongyang tak pernah pudar, meski sempat dihadang beberapa masalah.

Dia pun tak segan menggunakan pujian: dialah yang pertama menyebut bahwa Trump bisa dinominasikan untuk Nobel Perdamaian.

Roda masih belum berhenti berputar, sejak pertemuan pertamanya dengan Kim, sampai kejutan sebulan kemudian, dan optimismenya masih terus berkobar.

Untuk mencapai tujuan besar rekonsiliasi dan integrasi Korea, dia butuh KTT Korea Utara-AS benar-benar terjadi.

Xi Jinping, pemeran rahasia

Peran pemimpin Cina ini sebenarnya paling buram. Cina sebagai satu-satunya sekutu Korea Utara, telah lama mendorong dialog antara Washington dan Pyongyang.

Kim pertama kalinya muncul di pergaulan dunia internasional awal tahun ini, dan itu adalah saat dia melakukan pertemuan rahasia dengan Xi Jinping. Pertemuan kedua dilakukan tak lama setelahnya.

Spekulasi tersebar luas, apakah diskusi itu telah mendorong Korea Utara mengambil garis tegas dengan AS.

Sepekan setelah kedua pemimpin tersenyum sambil minum teh di Dailan, Pyongyang kembali ke sifatnya semula, melontarkan serangan-serangan diplomasi ke arah AS. Donald Trump curiga, kunjungan ke Cina telah memicu perubahan di sikap Kim.

Apa sebenarnya yang dimainkan Xi Jinping? Tak jelas.

Beijing ingin KTT ini, kata Yun Sun, Direktur Program Cina di Stimson Centre, karena Cina merasa lega dengan berkurangnya ketegangan.

Tapi Cina tak ingin dikeluarkan dari pembicaraan. Menurut Yun Sun, Cina merasa ada di antara "kecemasan akan perang, dan kecemasan karena tidak disertakan" Agenda Xi Jinping masih tersembunyi, dan makin tersembunyi sebagai akibat hubungannya yang rumit dengan Korea Utara dan AS.

Yang jelas, Korea Utara baru mulai mau bicara ketika Cina mendukung sanksi ekonomi untuk Korea Utara.