Celaka Kalau Kita Tak Punya Pabrik Sedan
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA – Sampai saat ini, Indonesia masih jadi negara penikmat produk kendaraan bermotor. Jumlah kendaraan yang diproduksi mencapai 1,1 juta unit pada tahun lalu, namun yang dipasarkan di dalam negeri hampir sama banyaknya.
Ditambah lagi beberapa produk yang dijual di Tanah Air tidak diproduksi sendiri, melainkan diimpor dari negara lain. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia atau Gaikindo sebagai asosiasi resmi kendaraan beroda empat memiliki pekerjaan rumah yang sangat banyak.
Tidak hanya soal produksi kendaraan, namun juga ketertinggalan Indonesia dalam hal standar keselamatan dan infrastruktur pendukung tren otomotif di masa depan.
Lantas, bagaimana Gaikindo memandang situasi industri otomotif nasional saat ini dan apa solusi mereka? VIVA menanyakannya langsung ke Ketua Umum Gaikindo, Yohannes Nangoi, di kantornya yang berlokasi di Menteng, Jakarta Pusat.
Pria yang akrab disapa Pak Yo ini bukan wajah asing di industri otomotif nasional. Sarjana Sipil lulusan Universitas Parahyangan Bandung ini sempat menjabat sebagai General Manager di PT IBM Indonesia, sebelum hijrah ke Isuzu Indonesia (dulu bernama Pantja Motor).
Dua tahun menjadi Kepala Divisi Penjualan Isuzu, Pak Yo dipercaya menjabat sebagai Wakil Presiden Direktur di PT Astra Daihatsu Motor. Dua tahun kemudian, ia diminta untuk menjadi DIrektur Pemasaran PT Astra Honda Motor. Setelah itu, Pak Yo kembali ke Isuzu dan kini menjabat sebagai Komisaris PT Isuzu Astra Motor Indonesia.
Pak Yo menjabat sebagai Ketua Umum Gaikindomasa bakti 2016-2019. Berdiri sejak 1969, Gaikindo menjadi fasilitator antara pemerintah dengan para anggotanya, terkait berbagai kebijakan. Antara lain, kebijakan industri dan perdagangan, energi, perpajakan, standar keselamatan, pemanfaatan teknologi, dan lingkungan.
Akhir tahun sudah dekat, bagaimana target penjualan mobil tahun ini?
Terus terang, target awal akan meleset. Setelah mengadakan pertemuan internal, kami punya angka baru. Pertumbuhan mobil tahun lalu dibandingkan tahun ini adalah flat.
Penjualan akan tetap ada di angka 1,05-1,06 juta. Saat ini kan ada di angka 800 ribuan, masih kurang sekitar 250 ribuan. Kalau dibagi tiga, sekitar 80 ribu lebih, masih masuk.
Bagaimana prediksi penjualan tahun depan?
Saya lihat sektor ekonomi membaik. Tetapi, penggerak utama ada di sektor komoditas, yakni ada di tambang dan kelapa sawit. Nah, mereka ini baru mulai membaik lagi, kelihatan sudah mulai naik. Saya cek ke Hino, Isuzu dan yang lain, penjualan truk mulai bagus.
Nah, kalau penjualan truk membaik, akan disusul ke yang lain. Bahkan, sepeda motor bisa ikut membaik. Mudah-mudahan tahun depan bisa membaik. Tapi, tahun depan kan dianggap sebagai tahun politik panas. Ini bisa berdampak kontraproduktif.
Seberapa besar pengaruh kondisi politik?
Besar sekali loh. Kalau sampai terjadi kayak tahun 1998, tinggal 10 persen pasar mobil saat itu. Tetapi mudah-mudahan enggak terjadi. Kita negara demokrasi, kampanye dan pemilihan bisa secara mature. Harusnya enggak ada masalah.
Jumlah produksi mobil Indonesia kalah dari Thailand. Bagaimana cara mengejarnya?
Kami (Gaikindo) ingin Indonesia jadi basis produksi. Sekarang saya bilang, Anda jualan tempe, pedagang sebelah punya tempe, tahu, sayuran dan segala macam. Mana lebih banyak jualannya? Tetangga toh.
Itu ibarat otomotif Indonesia. Kita cuma produksi MPV saja, sementara dunia butuhnya enggak cuma MPV. Jalan satu-satunya adalah kita sediakan yang lebih komplet, merambah ke semuanya. Contohnya, kita merambah ke sedan juga.
Pabrik perakitan mobil Honda
Mengapa kita harus bikin sedan?
Sedan itu masih termasuk terbesar di dunia penjualannya, permintaannya masih tinggi, masih besar. Saat ini, impor mobil dari Thailand ke Indonesia selama komponen yang dari ASEAN-nya 40 persen, bea masuknya nol. Kan celaka kalau kita enggak punya pabrik sedan di sini.
Saat ini, Indonesia jadi lahan subur buat Avanza-Xenia dan model kotak-kotak kayak begitu. Kenapa diterima model kayak gitu, ya karena kita duitnya cuma di situ.
Pendapatan per kapita kita sekira US$3.500. Tetapi, Indonesia diprediksi dalam waktu lima tahun lagi punya pendapatan per kapita US$5.000, bahkan lebih. kalau sudah di situ, hati-hati, akan berubah pasarnya.
Kalau pasarnya berubah, terus orang mau pakai sedan, sedan bisa tumbuh. Cuma, karena enggak diproduksi di Indonesia, diambilnya dari Thailand. Kita jadi importir, itu kan bahaya.
Soal Pajak
Mengapa pajak sedan di Indonesia mahal?
Pada tahun 1970-1980, pemikiran soal pajak sederhana. Mobil dibagi model dua boks (mesin dan kabin) serta tiga boks (mesin, kabin dan bagasi).
Model dua boks yang ngetop waktu itu kayak Mitsubishi Colt, cuma ada mesin dan penumpang. Nah, kalau dua boks berarti orang miskin. Kalau tiga boks, berarti ini orang kaya, pajaknya 30 persen.
Kalau lihat sekarang ini, BMW X5 dua boks, Toyota Alphard modelnya dua boks, memang yang punya orang miskin? Kan sudah berubah zamannya, dan kita mesti segera berubah
Apa benar MPV laris karena sesuai dengan kebutuhan orang Indonesia?
Zaman itu (dulu) orang tidak bisa beli mobil lain selain MPV, harganya paling murah. Nah, para pabrikan otomotif berlomba-lomba nih bikjin MPV sebagus mungkin. Jadi akhirnya terbentuk citra itu (MPV mobilnya orang Indonesia).
Avanza-Xenia dibandingkan Toyota Corolla 20 tahun lalu ya lebih bagus Avanza-Xenia, fiturnya segala macam. Tetapi, pajaknya Corolla tetap 30 persen. Ini yang mesti kita bereskan.
Berapa besar kebutuhan mobil di Indonesia?
Di Indonesia per 1.000 penduduk itu cuma ada 80 mobil. Thailand punya 240 mobil per 1.000 orang, Malaysia punya 400 mobil per 1.000 orang.
Nah, kalau kita jadi 100 mobil per 1.000 orang, berarti tambah 20 mobil. 250 juta jumlah penduduk dibagi 1.000 jadi 250 ribu. 250 ribu dikali 20, artinya kita bisa jual lima juta mobil. Belum dipotong mobil yang jadi rontok (rusak).
Contohnya, kenapa pasar handphone di Indonesia luar biasa sekali. Coba kita lihat tahun 1995, siapa yang punya handphone? bos-bos saja yang punya, yang gede-gede.
Kemudian 20 tahun, berubah. Anda bisa punya dua handphone, pemilik warung bisa beli handphone. Nah, perubahan ini enggak bisa dilawan bos.
Tapi kan jalanan sudah macet?
Sebentar dulu. Indonesia penduduknya 250 juta saat ini, Jepang itu 120 juta penduduk. Indonesia jualan domestik mobilnya 1,1 juta, Jepang yang sudah maju, transportasi publiknya sudah bagus, bisa jual 4,9 juta unit per tahun.
Tokyo sudah macet, tetap saja orang beli. Karena, pasar bisa berubah. Sekarang kayak handphone, berapa lama Anda pakai? Tiga atau empat tahun sekali ganti. Mobil juga kayak begitu, enggak bisa dihindari.
Anda enggak bisa setop orang, eh barangnya belum 20 tahun loh, kenapa sudah ganti? Pasti kan mereka bilang, fiturnya sudah kuno bos, kurang ini itu.Tidak bisa disetop untuk orang jadi maju ataupun jadi kaya.
Apa langkah konkret Gaikindo sejauh ini?
BBM Euro 4. Kalau kami enggak ribut terus, memang bakal gol itu? Saya ingat tahun 2016 bicara sama pak JK (Wakil Presiden Jusuf Kalla) saat pembukaan GIIAS. Itu langkah konkret kami untuk berkontribusi soal kebijakan ke pemerintah.
Selain itu, mobil listrik. Kami sudah bilang ke pemerintah, aturannya tolong segera diterbitkan. Tahun 2025, total penjualan mobil 25 persen harus sudah ke arah sana (listrik).
Nah kalau 25 persen di tahun 2025, perasaan saya penjualan mobil kita bisa dua juta per tahun. Kalau dua juta saja, 20 persennya sekira 400 ribu unit. Kalau sebanyak itu industrinya enggak kita tata dari sekarang, dimakan sama negara lain. kita cuma jadi pengimpor, celaka kita ini.
Mobil listrik Nissan LEAF Nismo
Mobil Listrik
Pajak mobil listrik bakal jadi lebih murah dari mobil biasa?
Saya kasih contoh, wah mobil biasa emisinya kotor, kasih pajak tinggi. Mobil listrik emisinya bagus, kasih pajak rendah. Mati kita punya mobil-mobil kayak Avanza, Xenia dan segala macam. Tahu-tahu Avanza dan sejenisnya harga melonjak karena pajaknya jadi tinggi. ya orang-orang mengamuk semua.
Tapi kalau Avanaza harga 10 perak, mobil listrik 1.000 perak, ya orang enggak mau beli juga. Ini enggak gampang.
Makanya saya panggil akademisi. Kami panggil UI (Universitas Indonesia). Saya bayar Rp500 juta ke UI, tolong bantu saya. Karena Anda lembaga independen, lembaga sangat akademis, pikir dong.
Mereka bilang perlu bikin studi, oke kami bayar ongkos-ongkosnya. Yang penting, kasih masukan ke kami seperti apa seharusnya peraturan-peraturan ini.
Mudah-mudahan tahun ini usulan tersebut sudah bisa diterima dengan baik oleh Kementerian Perindustrian, dan mereka akan menggodok lebih dalam lagi.
Seberapa susah mengubah kebiasaan orang Indonesia agar mau pakai mobil listrik?
Kebiasaan enggak susah mas, yang susah segala macamnya. Saya kasih tahu Anda, mobil listrik enak. Sekarang saya tanya, mobil biasa kalau isi bensin berapa menit? paling tiga menit. Coba kalau mobil listrik, Anda harus isi listriknya dua jam. Lama enggak? Lama.
Sekarang di dunia baru bisa 1,5-2 jam. Jangan lupa, isi dalam waktu segitu voltasenya tinggi, 450 Volt. Nah, kalau sekarang seluruh Indonesia sudah harus pakai 450 Volt, enggak gampang bikin jaringannya, kabelnya baru.
Jadi, bukan kebiasaan yang diubah, tetapi infrastrukturnya mahal sekali. Kita pakai 240 Volt saja? Ya boleh saja, tapi butuh waktunya (untuk cas baterai) 10-12 jam.
Tujuan mobil listrik itu kan mengurangi emisi. Tapi untuk pembangkit listrik masih pakai batubara, ya sama saja. Itu harus dihitung juga. Kemudian, setelah mobilnya dipakai, baterainya rusak, itu mau diapakan? Ini enggak bisa buru-buru, hanya memang sudah perlu disiapkan dari sekarang.
Soal kehadiran merek baru non Jepang?
Bagus. Kalau tahun ini kita dapat satu Wuling, tahun depan bisa dapat 1.000 Wuling, saya happy banget. Kenapa begitu? Karena bangun pabrik di Indonesia, mereka mempekerjakan pegawai orang Indonesia, bikin mobil di sini dan itu jadi basis ekspor.
Indonesia begitu besar pasarnya, cuma memang harus dijaga. Jangan sampai Indonesia hanya jadi tujuan jualan. Kami inginkan Indonesia jadi negara untuk memproduksi. Ini berkaitan dengan IKD (incomplete knock down).
IKD diadakan supaya perusahaan yang volumenya kecil bisa masuk duluan tanpa harus repot dengan CKD (completely knock down). Kalau enggak begitu, mereka masuknya hanya CBU (completely built up) doang ke Indonesia.
Indonesia sudah ekspor mobil ke mana saja?
Sudah lebih dari 70 negara. Harus diingat, kita juga ekspor ke Jepang, walaupun dengan sangat susah payah. Karena, yang dibikin di sini misalnya grade C, sementara yang diekspor harus grade A.
Kenapa? ya memangnya Jepang mau terima mobil Euro 2? Enggak kan. Sementara, Thailand standarnya sudah sama (antara yang dieskpor dengan yang dijual di dalam negeri).
Ketua Umum GAIKINDO, Yohannes Nangoi.
Kualitas mobil Indonesia bisa grade A juga enggak?
Tergantuing pemerintahnya. Kalau bilang harus Euro 2 terus, ya enggak naik. Kalau misalnya Toyota bikin mobil grade A, pakai Euro 6, bakal laku enggak di sini? Ya enggak laku lah, BBM-nya enggak ada.
Terakhir, tanggapan soal mobil nasional?
Apa sih yang Anda sebut mobil nasional? Mobil nasional itu namanya Indonesia? itu Kijang atau Kuda, itu kan Indonesia. Kalau dibilang komponen lokalnya harus 90 persen, sudah banyak yang seperti itu. Desainernya pun banyak yang sudah orang Indonesia.
Maksudnya mobil yang tidak berhubungan dengan merek global
Begini, bikin mobil nasional saya yakin pasti jadi, pasti bisa. Bikin mobil yang bisa dijual, itu yang susah. Bukan hanya bisa bersaing, tapi yang bisa dijual.
Sekarang saya tanya sama Anda, bisa bikin teh botol? Kan enggak susah, teh tambah gula tambah pengawet. Coba Anda jual, laku enggak? Belum tentu. (ren)