Perbandingan Kenaikan Cukai Era Orde Baru dan Reformasi

Industri rokok.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yusran Uccang

VIVA.co.id - Pemerintah akan kembali menaikkan tarif cukai rokok pada awal 2018 mendatang. Adapun besaran nilai cukai yang akan dinaikkan adalah sebesar 10,04 persen.

Menanggapi kenaikan tersebut, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Ismanu Soemiran mengatakan, jika ditinjau ke belakang, kenaikan tarif cukai rokok dinilai lebih baik pada era Orde Baru, jika dibandingkan pada era sekarang. Alasannya, pada zaman itu, kenaikan tarif cukai rokok relatif lebih stabil yakni berada di angka 10 persen.

Sedangkan pada era reformasi seperti saat ini, kenaikan cukai justru relatif lebih tak menentu. Karena tarif cukai rokok relatif naik turun tergantung kondisi dari industri.

"Saya bilang bagi industri lebih baik era Orde Baru, karena waktu itu selama delapan tahun tarifnya flat 10 persen setiap tahunnya. Kalau sekarang sudah tidak flat. Jadi, lebih baik di situnya," ujar Ismanu, saat ditemui di Jakarta Selatan, Selasa 24 Oktober 2017.

Menurut Isman, dengan tarif cukai yang flat, maka akan menguntungkan pengusaha. Karena, pengusaha bisa memetakan rencana perusahaan dalam jangka waktu yang panjang.

"Walaupun berat yang penting harus 10 persen kalau dulu, jadi kita juga rencanakan," kata Ismanu.

"Pengusaha membutuhkan kepastian usaha jadi kita tahu kita rancang dalam tiga tahun itu bagaimana harus tahu. Sehingga kita bisa terjamin jadi setiap tahun jangan berubah-ubah seperti sekarang," katanya lagi.

Ia juga menceritakan, pada akhir era Orde Baru, industri rokok ada sebanyak sekitar 600 perusahaan. Namun, setelah era reformasi sempat dikeluarkannya disentralisasi kebijakan, di mana pemerintah daerah mempunyai hak menentukan kebijakan setempat termasuk industri rokok.

"Maunya semuanya diatur oleh daerah. Padahal, industri rokok barang pengawasan yang sudah ditetapkan cukai sejak tahun 1932. dan harus memakai cukai. Dan, itu hanya diterbitkan pemerintah pusat," ujarnya.

Adanya kebijakan tersebut, membuat banyaknya rokok beredar tanpa cukai dan menjamurnya industri ini dengan terdapat hampir lima ribuan industri rokok.

"Sehingga, menjadikan industri tidak sehat karena fungsi filosofi cukai adalah setiap barang yang mengandung unsur merugikan lingkungan dan masyarakat harus dikenakan tambahan pajak namanya cukai ini tidak terpenuhi," katanya.

Dengan menjamurnya industri rokok tersebut, pemerintah akhirnya berupaya menurunkan industri ini kembali dengan sentralisasi kembali kebijakan dan itu berhasil namun dengan peraturan-peraturan yang cukup banyak.

"Sekarang ini industri kami sangat banyak peraturannya. Betapa komplikasinya apalagi bicara tentang SKT (Sigaret Kretek Tangan). Itu padat karya, 90 persen (pekerja) wanita. Kalau bicara karyawan wanita sesungguhnya pemerintah harus melihat ini menjadikan income (pemasukan) ganda terhadap keluarga itu. Suami bekerja istri bekerja. Sehingga, industri kami unik, komplikasi dan tidak habisnya kalau dibicarakan," katanya.