Kelemahan Mesin Sensor Internet Rp200 Miliar Incaran Kominfo

Ilustrasi internet.
Sumber :
  • www.pixabay.com/TBIT

VIVA – Kementerian Komunikasi dan Informatika mengadakan lelang mesin sensor internet dengan nilai hampir Rp200 miliar. Kementerian ini menegaskan, mesin sensor yang dimaksud di sini bukan mesin penyadap penggunaan internet. 

Kominfo mengatakan, mesin sensor yang dipakai menjalankan sistem pencarian (crawling) kata kunci, bukan yang selama ini dikhawatirkan bakal menggerus privasi pengguna internet di Indonesia. 

Dirjen Aplikasi dan Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan menegaskan mesin sensor internet baru ini juga merupakan pengembangan dari sistem filtering konten negatif sebelumnya, Trust +. 

Namun demikian, pegiat internet di Indonesia yang tergabung dalam Internet Development Institute (ID Institute) mengkritisi sistem crawling, pengembangan terbaru dari Trust +. 

Ketua ID Institute, Sigit Widodo berpendapat, penapisan dengan sistem crawling belum menjamin bakal efektif menindak konten negatif di internet. Sebab ada beberapa kelemahan dari sistem tersebut. 

Sigit mengatakan, sistem crawling bekerja menapis konten negatif dengan berbasis pada database kata kunci di internet. Teknik ini seperti yang dijalankan Google. 

"Kelemahannya (crawling), kata kunci bisa dimainkan pemilik website, misalnya kata 'porno' diganti dengan 'jual beli perkakas'" jelasnya kepada VIVA.co.id, Senin 23 Oktober 2017. 

Kelemahan penapisan dengan sistem crawling lainnya yakni hanya bisa bekerja untuk 'patroli' konten berupa teks saja. Untuk jenis konten lainnya, Sigit menilai tidak mampu mendeteksi konten negatif. 

"Video flash enggak bisa deteksi," tuturnya.

Celah lainnya dari sistem crawling yaitu berpotensi ditolak oleh penyedia konten negatif. Malah permintaan dari crawler untuk mencabut konten negatif akan ditolak mentah penyedia konten.  

"Ada kemungkinan situs yang menyediakan konten porno saya bisa menolak crawler, mereka cukup kasih script. Crawler malah bisa diblokir," ujarnya. 

Dengan kelemahan tersebut, sistem crawling malah bisa salah sasaran menindak konten. Awalnya ingin menindak penyedia konten negatif, malah akhirnya bisa meleset. 

"Jangan sampai, mungkin Trust+ benar kata kuncinya, tapi salah. Misalnya ada kata kunci 'telanjang', tapi yang diblokir adalah 'telanjang' yang lain. Jadi salah sasaran," jelasnya.

Untuk itu, Sigit berpandangan, sistem penapisan tetap harus melibatkan tenaga manusia, untuk pengawasan penindakan konten. 

"Penentu akhirnya (eksekusi konten negatif) memang harus manusia. Hal itu terjadi dalam mengotomatiskan sistem crawling. Mereka tetap pakai manusia meski crawler juga ada. Ini untuk memantau. Intinya, crawler ini tidak akan efektif, untuk menentukan apakah situs ini boleh atau enggak, itu manusia," katanya. 

Trust+ jangan manual lagi

Sigit sepakat sistem penapisan Trust+ perlu ditingkatkan. Selain itu, mekanisme pemblokiran konten negatif pada Trust+ mendapat sorotan. 

Selama ini, Trust+ mencari dan menemukan konten negatif maupun mendapat masukan dari publik dan kemudian meminta pemblokiran konten itu ke penyedia layanan internet (ISP) secara manual. Menurut Sigit sebaiknya ke depan jangan lagi memakai mekanisme itu, sebab dinilai terlalu lambat. 

"Memang kalau dalam penapisan, idealnya tidak secara manual. Kominfo kan miliki situs daftar negatif, mana yang harus diblokir. Maka ISP harus langsung (blokir). Harusnya ada database menginduk ke sana blokir ya otomatis idealnya begitu. Hanya saja bikin itu cukup puluhan sudah termasuk sistem filteringnya," ujarnya. 

Belum lama ini Kominfo mengumumkan PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) sebagai pemenang dalam lelang pengadaan Peralatan dan Mesin Pengadaan Sistem Monitoring dan Perangkat Pengendali Situs Internet Bermuatan Negatif atau dikenal mesin sensor internet.

PT INTI berhasil menyisihkan 72 peserta melalui pemberian harga penawaran sekitar Rp198,611 miliar dan harga terkoreksi Rp194,059 miliar dengan skor harga 70 dan skor akhir 94.

Nilai pagu dari proyek ini sekitar Rp211,8 miliar, sementara harga perkiraan sendiri (HPS) pada kisaran Rp211,87 miliar.

Soal pengadaan mesin sensor internet, Kominfo itu, menegaskan sistem penapisan yang dilelang hanya mesin yang mengotomatisasi crawling, bukan Deep Packet Inspection (DPI).