Kata Arcandra Soal Hilangnya Potensi PNBP Migas 2015
- Rifki Arsilan/VIVA.co.id.
VIVA.co.id – Badan Pemeriksa Keuangan melaporkan bahwa negara telah kehilangan potensi pendapatan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak, atau PNBP di sektor Migas sebesar US$956,04 juta, atau Rp12,7 triliun pada 2015. Hal itu terungkap, dari data kelebihan pembebanan biaya dalam skema kontrak cost recovery yang diberlakukan saat itu.
Hal tersebut, merupakan hasil dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2017, di mana BPK mengungkap adanya pembebanan biaya-biaya yang tidak semestinya diperhitungkan dalam cost recovery. Laporan ini dirangkum dari perhitungan bagi hasil migas pada 2015 di SKK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau perusahaan migas.
Menanggapi itu, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, skema kontrak cost recovery memang dinilainya memang sudah tepat untuk diganti dengan skema kontrak baru, yaitu Gross Split atau bagi hasil kotor.
"Term positifnya, bahwa kalau dengan gross split kemungkinan yang seperti cost-cost yang ada itu tanggung jawab dia (KKKS) sendiri, Ini akan lebih memudahkan," kata Arcandra ditemui di Pacific Place, Jakarta, Kamis 5 Oktober 2017.
Arcandra mengatakan, melalui skema gross split penghitungan bagian kontraktor dan bagian pemerintah akan menjadi semakin mudah. Sehingga, tidak perlu lagi ada kewajiban bagi negara mengeluarkan biaya untuk mengganti cost recovery bagi kontraktor.
"Itu salah satu mengapa kita berpikir gross split, semuanya jadi mudah, akan lebih mudah, baik bagi kontraktor, baik itu bagi negara," ujar dia.
Seperti diketahui, dalam laporan BPK, biaya-biaya yang tidak seharusnya dibebankan kepada negara sebagai cost recovery itu misalnya remunerasi, iuran pensiun, dan bonus insentif. Kemudian, asuransi serta tunjangan pajak penghasilan (PPh) tenaga kerja asing (TKA) pada 2015 oleh KKKS senilai US$89,94 juta, atau sekitar Rp1,196 triliun.
BPK juga menemukan sejumlah permasalahan lain seperti adanya tunggakan pajak 17 KKKS sampai dengan 2015, senilai US$209,25 juta dolar atau setara dengan Rp2,78 triliun.