Perusahaan Asing Merajalela, KPPU Ingin Seperti KPK

Ketua KPPU, Muhammad Syarkawi Rauf.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Yasir

VIVA.co.id – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mendesak adanya perubahan aturan yang mengatur sistem persaingan bisnis di Indonesia. Hal ini dinilai penting, salah satunya untuk mencegah terjadinya persaingan tidak sehat akibat pencaplokan perusahaan lokal oleh pengusaha asing.

Ketua KPPU, Sarkawi Rauf mengatakan, saat ini investor terbesar di Indonesia adalah Jepang, Malaysia, Singapura, Korea dan Cina. Hal ini berpotensi terjadinya kejahatan lintas negara yang sangat tinggi.

Untuk itu, KPPU butuh kerja sama antarotoritas persaingan untuk menangani kejahatan lintas negara, khususnya yang berkaitan dengan persaingan bisnis.

“Kami ingin fokus dibeberapa isu yang memang sangat krusial di beberapa kebijakan. Yang pertama itu terkait dengan penguatan kelembagaan KPPU. Untuk menjalani fungsi-fungsi yang diharapkan masyarakat dan para pelaku usaha,” katanya di Depok, Jawa Barat, Rabu 27 September 2017.

Sarkawi juga mengatakan, saat ini status kelembagaan KPPU berbeda dengan lembaga-lembaga independen yang lain, seperti KPK maupun LPSK yang sangat kuat dalam hal penindakan penegakan hukum.

“Kami pun ingin membangun institusi yang kuat itu dengan cara sekretariat KPPU ini diperkuat posisinya. Karena saat ini trennya KPPU hanya jadi lembaga training. Ketika orang punya skill, dia keluar dari KPPU dan jadi lawyer kemudian berhadapan dengan KPPU dipersidangan. Mereka menjadi pembela perusahaan yang terlapor di KPPU,” ujarnya menjelaskan.

Sementara itu, terkait dengan maraknya fenomena pengambilalihan perusahaan atau akuisisi yang dilakukan perusahaan-perusahaan asing di Indonesia, pihaknya akan mengajukan beberapa kebijakan aturan. Hal ini dianggap penting untuk mencegah terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.

“Banyak pengusaha-pengusaha Malaysia yang mengambil alih perusahaan Indonesia baik di bidang pertambangan, perkebunan dan keuangan. Bahkan dari Jepang juga banyak, dari Cina juga banyak masuk ke sini. Nah ini harus kita antisipasi dengan rezim merger atau akuisisi yang benar untuk mencegah potensi kerugian ekonomi, akibat pengambilalihan perusahaan lintas negara itu,” katanya

“Kalau saat ini kan merger bersifat post merger, perusaahaan bergabung dulu atau mengakuisisi dulu baru melapor ke KPPU, keinginan kita ke depan sebelum perusahaan itu bergabung maupun melakukan akuisisi melapor dulu ke KPPU,” ujarnya menambahkan.

Namun demikian, kata Sarkawi, tidak semua perusahaan wajib melapor, hanya perusahaan-perusahaan yang memiliki aset atau omzet yang sangat besar dengan nilai aset Rp 5 triliun.

“Sehingga kalau kita hitung-hitung di Indonesia itu tidak banyak perusahaan yang wajib lapor. Kenapa kita buat syarat Rp5 triliun, karena subtansi dari merger kontrol itu adalah bagaimana kita memonitor atau mengawasi perusahaan yang baru terbentuk dari hasil merger dan akuisisi ini sehingga tidak berpotensi menyalahgunakan posisi dominan dia di pasar,” ujarnya.

Hal ini dinilai Sarkawi penting, sebab jika ada dua perusahaan bergabung dan keduanya perusahaan besar maka bisa menghasilkan perusahaan ‘raksasa’ yang bisa menguasai pasar.

“Ini berbahaya bagi perekonomian kita. Sebelum perusahaan raksasa ini bergabung wajib melapor ke KPPU agar jangan sampai berdampak pada persaingan usaha yang tidak sehat,” tuturnya.

“Selain itu kami juga akan menerapkan pengurangan denda atau administrasi terhadap pengusaha yang mengakui kesalahannya atau jika dia bersedia menjadi whistle blower. Mudah-mudahanan ini bisa membuat perekonomian menjadi lebih baik.” (mus)