Asing Bisa Jadi Penasihat, Keputusan Tetap di Kita

Ketua Indonesia E-Commerce Association (iDEA) Aulia Marinto
Sumber :
  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

VIVA.co.id – Mengelola perdagagan elektronik bagi Aulia Marinto sepertinya bukanlah hal sulit. Meski berlatar belakang dari perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, Telkomsel, mengelola Blanja.com tidak terlalu menjadi beban. Pasalnya, dia mengklaim jika e-commerce pertama kali hadir di industri operator telekomunikasi.

Pria yang sempat menjabat sebagai juru bicara dan sekretaris korporasi di Telkomsel ini sangat yakin dengan klaim itu karena industri konten premium sempat tumbuh dan berkembang dengan pesat serta menghasilkan banyak pemasukan yang berarti bagi Telkomsel kala itu. Jual beli konten di smartphone, baik pembelian wallpaper, ring tone, ringback tone, dianggap sebagai cikal bakal e-commerce. Jadi operator telekomunikasi dianggap haruslah bisa mengelola e-commerce lebih baik dari siapapun.

Tidak heran jika kemudian anggota Indonesia e-Commerce Association (idEA) banyak yang memilihnya untuk menjadi pimpinan puncak di organisasi tersebut. Di idEA, Aulia harus bisa menyatukan banyak kepala untuk bisa menerima perbedaan. Apalagi e-commerce baru tumbuh dan sedang digodok aturan untuk bisa membuat industri ini ‘mature’di masa depan, khususnya dalam menghadapi invasi dari negara China yang gencar melakukan investasi besar-besaran di ranah ini. Ditambah, seorang milyuner China didapuk untuk menjadi penasehat e-commerce Indonesia.

Bagaimana tantangan yang sebenarnya dihadapi e-commerce Indonesia dan sikap idEA terhadap ‘invasi’ China? Berikut wawancara Ketua idEA, Aulia Marinto dengan Viva.co.id beberapa waktu lalu.

Bagaimana kesan Anda, dari telekomunikasi nyemplung ke e-commerce?

Dari segi industri memang beda. Tapi saya kalau mengerjakan sesuatu dengan passion. Di Telkomsel, sebagian waktu saya bertugas mendevelop sesuatu yang baru, baik produk maupun bisnis. Jadi sebenarnya saya tidak terlalu kaget.

Yakin bisa mengembangkan e-commerce dengan induk operator telekomunikasi?

Tahun 2000 Telkomsel pernah menggelar ‘e-commerce’ tapi waktu dulu bukan itu sebutannya karena yang dibeli adalah konten, macam ringtone, ringback tone, MMS, dan lainnya. Dulu bayarnya bisa pakai kartu kredit tapi umumnya pakai pulsa, digunakan hanya untuk di handset. Namun dulu saya juga sudah merencanakan kemungkinan membeli consumer goods pakai pulsa tapi tidak jalan karena kepentok aturan Bank Indonesia. Jadi soal perdagangan elektronik, operator sudah memulainya sejak lama.

Lalu kenapa dengan Elevenia dan Cipika (masing-masing milik XL Axiata dan Indosat)?

Industri (e-commerce) ini masih baru dan pendekatan atau mendevelop bisnisnya beda dengan digital ala operator telko. Bisnis digital telko itu identik dengan akses dan konten seperti video dan lainnya. Apalagi sekarang prospeknya besar dan banyak orang yang ingin masuk. Model e-commerce juga tidak mengejar profitability dan revenue di depan, harus keluarkan uang dulu. Tapi memang bisnis ini harus jadi unit tersendiri karena harus sangat fokus.

Peta e-commerce RI sendiri bagaimana. Berapa anggota idEA?

Model umum di RI, marketplace, retail online dan classified ads. Di luar negeri lebih vertikal. Kategorinya lebih  beragam lagi, sudah terkategorisasi dengan baik, mulai dari fashion, penjualan barang elektronik, dan lainnya. Kalau anggota idEA sudah ada 300an, tak hanya pelaku e-commerce tapi seluruh yang ada di ekosistem e-commerce, mulai dari payment, delivery service, digital marketing tools, research dan tentunya pemilik platform.

Data pertumbuhan dari idEA?

Belum ada. Tapi kami sedang kerjakan bersama pemerintah. Ke depan kami akan gunakan pendaftaran elektronik yang mempermudah mereka melaporkan url dan bisnis e-commerce yang dibuat.

Media sosial masuk kategori e-commerce?

Tidak. Istilah e-commerce bagi idEA adalah segala sesuatu yang diperdagangkan secara online, termasuk transaksinya, di dalam layar, melalui sebuah platform. Jadi kami mengistilahkan ada e-commerce formal dan nonformal. Lagipula rata-rata pedagang di media sosial itu menggunakan Facebook dan sejenisnya itu untuk sarana promosi tapi transaksi masih manual.

Pajak untuk e-commerce?

Kalau pedagang di medsos dikenakan pajak, ga ada relevansinya. Sedangkan pajak untuk anggota idEA, harus menjadi akselerasi karena sekarang industrinya masih baru. Pemilik e-commerce itu rata-rata bayar pajak. Ada PPh21 dan lainnya. Kalau pajak transaksi kan pajak dari barang yang diperdagangkan. Barang itu kan sudah bayar pajak sebelumnya dari distributor atau si toko. Lagipula jika masih awal begini sudah dikenakan pajak, ga ada yang mau jualan online. Mana bisa tumbuh e-commerce kita? Apalagi kalo UKM dikenakan pajak.

Tapi kata pemerintah kontribusi e-commerce di RI sudah Rp75 triliun?

Rencananya memang di 2020 potensi e-commerce RI total USD130 miliar. Pertumbuhan e-commerce RI itu besar, tapi data dan angkanya baru akan kita cari bareng dengan pemerintah. Data Rp75 triliun itu kan survei, sebagai gambaran tidak apa. Kalau ditilik, total e-commerce RI baru di bawah 2 persen dari total retail offline yang ratusan triliun. Jumlah pemain yang besar saja sedikit. E-commerce ini jelas digerakkan dari konsumsi belanja masyarakat.

Bagaimana idEA menghadapi bombardir investasi asing di e-commerce?

Kita sudah tidak bisa lepas dari kancah internasional. Menerima investasi asing itu bukan suatu hal yang baru, di ICT sejak lama ada. Kalau kita bersikap tak mau menerima, kita bisa tersisih dari masyarakat internasional.

Apa tak berlebihan dengan langkah pemerintah membawa Jack Ma?

Dia kan hanya seorang ahli yang dipilih pemerintah untuk memberikan nasihat. Keputusannya di kita, mau menggunakan nasehat itu atau tidak. Kita ingin mempercepat industri, maka bergaul dan bertanyalah dengan orang yang sudah berpengalaman. Lagipula dia tidak sendiri. Akan ada orang lokal yang posisinya sejajar dengan Jack Ma.

Bagaimana jika Jack Ma membawa kepentingan bisnisnya ke RI?

Sebelum dijadikan penasehat, dia sudah berinvestasi lebih dulu, kok. Kalau dia ada negatifnya, kitalah yang harus bersatu untuk menghadapi itu semua. Tapi kan Jack Ma juga belum jalan. Bagus sih kalau ada kekhawatiran di awal. Bagus untuk mengantisipasi.

Kabarnya idEA sempat pecah karena beda pendapat soal Jack Ma?

Ah, itu hanya beda pendapat. Biasa itu di asosiasi, semua punya pendapat masing-masing.

Pasar e-commerce Indonesia yang sudah banyak ini, bisa dianggap mature belum?

Belum lah. Indonesia itu unik. Kalau mature dalam konteks apa dulu? Size atau penyebarannya. Kalau e-commerce sudah dirasakan dari Sabang sampai Merauke, disparitas harga yang tidak ada lagi, maka itu bisa dianggap mature. Kita harus bisa merasakan multiplier effect.

Kendalanya di mana kok belum mature?

Ini bukan kendala tapi tantangan. Tantangan untuk e-commerce Indonesia dengan segala keunikannya, sebuah negara kepulauan. Tapi ini PR buat semua, tak hanya idEA. Mungkin 5 sampai 10 tahun lagi bisa mature.

Tapi sudah ada perpres. Itu harapannya bagaimana?

Kami harap bisa diimplementasikan secepatnya 31 inisiatif itu. Kami sadari tantangannya adalah men-sinkronisasi 18 kementerian dan lembaga secara paralel. Perpres itu bisa jadi basis idEA, landasan hukum untuk bangun industri.

E-commerce di negara mana yang sudah dianggap besar?

Ada US, China, Korea, Jepang. Ke-empatnya punya cerita prorietary sendiri. Kisah suksesnya juga berbeda-beda.

Terus kalau nanti ketemu Jack Ma, apa yang akan disampaikan?

Saya tidak mau terlalu bagaimana-bagaimana dengan Jack Ma karena dia ke sini saja belum. Kenapa kita mesti berharap pada orang yang belum pernah datang ke sini. Saya hanya berharap pada orang-orang lokal, pemerintah. Untuk pertama kalinya saya berada di industri yang dipimpin langsung oleh Presiden RI. Kenapa kita ga optimis di situ? Intinya sebenarnya, usulan-usulannya sih kita belum tahu tapi kita bisa belajar dari filosofi sukses Jack Ma.