Transportasi Tak Terintegrasi, Larangan Sepeda Motor Sia-sia

Larangan Sepeda Motor Melintas di Jalan MH. Thamrin
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVA.co.id – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bakal melarang pengendara sepeda motor melintasi jalan protokol Jakarta, dari kawasan Bundaran Hotel Indonesia sampai Bundaran Senayan, Jakarta Selatan. Sosialisasi penerapan kebijakan tersebut pun sudah dilakukan dalam beberapa waktu terakhir.

Meski demikian, rencana penerapan larangan sepeda motor yang saat ini masih dalam tahap uji coba menuai protes keras. Apalagi di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur yang telah membuat jakarta macet tambah macet akibat kebijakan tersebut.

Kuncoro Mukti, seorang pegawai di salah satu perusahaan swasta mengungkapkan, penerapan aturan tersebut di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur tanah air, bukan solusi tepat. Belum lagi, hal ini semakin diperparah dengan belum terintegrasinya layanan transportasi massal.

“Kalau transportasi sudah selesai semua, saya setuju saja. Tapi sekarang, kan belum semua. LRT dan MRT juga belum kelihatan bisa selesai. Ini bisa buang-buang waktu di jalan,” kata Kuncoro, saat berbincang dengan VIVA.co.id, Jakarta, Kamis 24 Agustus 2017.

Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno saat berbincang dengan VIVA.co.id pun mengungkap hal serupa. Namun menurutnya, penerapan larangan sepeda motor di kawasan protokol Ibu Kota harus tetap mempertimbangkan aspek keadilan, agar tidak menimbulkan kecemburuan.

“Saya sebenarnya juga tidak suka sepeda motor di Jakarta. Tapi ini kita bicara kultur, karena kita sudah lama memberikan kelonggaran ini. Biar tidak terjadi gejolak, harus ada aspek fairness,” kata Djoko.

Tanpa adanya aspek keadilan, maka penerapan kebijakan tersebut pun akan menuai pro dan kontra. Apalagi dalam situasi saat ini, keinginan masyarakat untuk menggunakan moda transportasi umum masih terbilang rendah, karena berbagai macam pertimbangan.

Djoko mencatat, ada dua alasan yang menyebabkan sejumlah masyarakat enggan menggunakan transportasi umum. Pertama, adalah dari askes angkutan umum yang relatif terjangkau, dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat di beberapa wilayah Jakarta.

“Ada angkutan umum yang tidak sampai ke rumahnya. Ini akhirnya mendorong masyarakat punya kendaraan. Sementara di sisi lain, angkutan itu harus bikin nyaman, dari sisi ukuran dan fasilitas sesuai standar. Selama ini tidak ada, maka akan sulit,’ ujarnya.

Faktor yang kedua, adalah jalur transportasi khusus yang justru kebanyakan digunakan oleh kendaraan pribadi masyarakat. Padahal di sisi lain, masyarakat yang menggunakan transportasi seperti Busway, telah menghitung jarak waktu tempuh antara menggunakan kendaraan pribadi dan transportasi khusus.

“Sekarang ada beberapa koridor yang mengalami gangguan. Bagi orang Jakarta, waktu itu sangat penting sekali. Tiba-tiba dia naik busway, semua mobil bisa masuk, dan macet,” ujarnya.