Anggota DPR: Tol Laut Lebih Efisien Digarap Pelayaran Swasta

Ilustrasi tol laut.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Tudji Martudji

VIVA.co.id – Program tol laut yang digagas pemerintah dinilai tidak efektif dalam menekan harga saat ini. Karena itu, pengelolaan program ini idealnya melibatkan pelayaran swasta yang sudah lebih dahulu melayari pulau-pulau di Indonesia.

Anggota Komisi VI DPR Bambang Haryo mengungkapkan, saat ini biaya subsidi tol laut sangat besar. Tetapi, kondisi tersebut tidak berbanding lurus dengan hasil yang didapatkan. Karena, harga barang di daerah-daerah tujuan tol laut masih belum bisa ditekan secara optimal.

"Hanya buang-buang dana APBN. Padahal pelayaran swasta sudah lebih dulu melayari daerah-daerah di seluruh Indonesia dengan 14 ribu kapal, sedangkan kapal tol laut baru enam. Artinya, tanpa tol laut pun, distribusi barang sudah jalan," ujar Bambang dikutip dari keterangannya, Jumat 11 Agustus 2017. 

Dia mencontohkan, di Papua yang menjadi daerah tujuan tol laut misalnya. Sebelum program ini dijalankan, harga beras di Papua sudah Rp13.000 per kilogram. 

“Saat kami berkunjung ke sana, sekarang setelah ada tol laut ke Papua, harga beras malah lebih mahal. Kenapa bisa begitu? Ini membuktikan tol laut yang disubsidi tidak berdampak ekonomi, tidak bisa menekan disparitas harga,” tuturnya.

Menurut Bambang, tidak adanya dampak pada penurunan harga barang karena tol laut tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak terkait barang tersebut. Seperti Badan Urusan Logistik (Bulog) dan Pertani, yang selama ini bertugas melakukan stabilisasi harga barang pangan. 

Menurutnya, yang memanfaatkan program ini justru pedagang yang menyesuaikan harga dengan mekanisme pasar. Para pedagang ini tidak berkomitmen berdagang sesuai regulasi, yakni tidak ada regulasi harga, distribusi, dan kualitas barang. Akhirnya harga barang-barang tetap tinggi.

Bambang menambahkan, meski konsep dan tujuannya bagus, untuk menekan disparitas harga tidak cukup dengan memberikan subsidi terhadap kapal pengangkut. Karena persentasenya dalam komponen harga yang dijual tidak besar. 

“Transportasi laut dikatakan sebagai penyebab disparitas harga selama ini itu keliru, karena transportasi laut hanya berkontribusi 5 persen terhadap harga barang. Sisanya yang paling banyak berkontribusi adalah biaya distribusi ke pedalaman. Selama ini distribusi ke pedalaman menggunakan pesawat-pesawat perintis. Ini lah yang membuat mahal,” tuturnya.

Bambang menyarankan, untuk menekan disparitas harga di pedalaman Indonesia, bukan hanya tol yang diperhatikan. Tapi, pembangunan dan perbaikan infrastruktur jalan darat.  

Di Indonesia, menurutnya, memiliki panjang jalan darat keseluruhan mencapai 530 ribu kilometer. Sekitar 60-70 persennya kondisinya rusak dan susah dilalui kendaraan. Sementara itu, jalan tol totalnya hanya 1.000 kilometer. 

“Jika jalanan di Indonesia diperbaiki, jalur darat akan terbantu sehingga distribusi barang berjalan lancar. Dengan demikian dapat menekan disparitas harga,” tuturnya. 

Selain itu, pemerintah sebaiknya menumbuhkan perekonomian daerah setempat, sehingga bisa memberikan barang bawaan balik bagi kapal-kapal pengangkut barang saat ke pedalaman. 

"Pemerintah tak perlu membuang-buang anggaran dengan tol laut, berikan saja kepada swasta yang selama ini sudah menjalaninya," ucap Bambang.

Hal senada juga disampaikan Ketua Komisi Tetap Sarana dan Prasarana Perhubungan Kadin Indonesia, Asmary Herry. Menurutnya, program tol laut yang sudah berjalan 2 tahun belum dapat menekan disparitas harga. 

Harga barang bukan hanya ditentukan ongkos freight (pengapalan), angkutan laut hanya salah satu penentu harga. 

"Memang biaya pengapalan sudah turun dengan tol laut, tetapi apakah harga barang di daerah ikutan turun? Belum tentu," ucapnya.

Berdasarkan data perusahaan pelayaran nasional, ongkos freight Jakarta-Papua, misalnya, pada 2 tahun lalu Rp10 juta. Setelah ada tol laut menjadi Rp5 juta.

"Apakah harga semen, misalnya, di Papua ikut turun sesuai penurunan ongkos freight?" kata Asmary.

Dia menambahkan, tol laut dengan subsidi dari pemerintah dengan sistem sekarang ini biayanya sangat besar, bisa dihemat dengan sinergi dengan swasta tentunya. “Soal mekanisme penetapan swasta yang sudah lebih dulu melayari rute tersebut, ya diserahkan ke pemerintah,” tutur Asmary.