10 Tahun Terakhir, 3.915 Pabrik Rokok Gulung Tikar

Ilustrasi pabrik Rokok.
Sumber :
  • Antara/Syaiful Arif

VIVA.co.id – Pelaku industri rokok mengungkapkan, penyampaian informasi yang keliru terkait industri hasil tembakau dapat menciptakan kegaduhan yang tidak perlu di kalangan para pemangku kepentingan terkait. 

Hal ini diungkapkan Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan, dan Minuman (FSP RTMM) Sudarto, menyikapi komentar pihak-pihak yang mengatakan bahwa kenaikan cukai tidak berdampak pada tenaga kerja serta petani tembakau dan cengkeh. 

"Ketika industri tertekan, otomatis seluruh mata rantai dari hulu sampai hilir akan menjadi korban, termasuk tenaga kerja,” kata Sudarto dikutip dari keterangan resminya, Jumat 4 Agustus 2017. 

Keprihatinan yang sama disampaikan Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPS-I) Djoko Wahyudi. Menurutnya, data dan fakta di lapangan sering diinformasikan salah. 

“Saya sudah menulis surat kepada menteri keuangan, supaya lebih memperhatikan para pelaku industri hasil tembakau, khususnya yang memproduksi SKT (Sigaret Kretek Tangan). Karena sekarang kami lebih sering didiskreditkan, padahal mereka tidak melihat dan paham akan efek yang ditimbulkan jika kami tutup,” katanya.
 
Djoko pun memaparkan situasi industri hasil tembakau sudah memiliki beban yang cukup besar saat ini. Salah satunya pengenaan cukai dan penurunan produksi sebesar dua persen pada 2016. 

“Penurunan ini sebenarnya sudah terjadi sejak 10 tahun lalu. Jumlah pabrik rokok pada 2006 sebanyak 4.669 dan saat ini tinggal 754 pabrik. Kalau kami tidak dapat bertahan, pegawai kami yang tingkat pendidikannya rendah juga akan terkena imbasnya,” tuturnya.

Tahun ini, Kementerian Keuangan memprediksi terjadi penurunan produksi rokok lagi hingga 2,3 persen atau lebih besar daripada penurunan 2016. Kondisi ini harus menjadi perhatian khusus.

Djoko meminta, pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai pada 2018, minimal sampai industri pulih dari penurunan produksi. Pada akhirnya penerimaan cukai rokok pun akan kembali mencapai target, tidak seperti beberapa tahun terakhir.

Selain itu, industri meminta agar diterapkan pengenaan tarif cukai yang lebih adil, yaitu memastikan tidak adanya tarif cukai Sigaret Kretek Mesin (SKM) yang lebih rendah daripada tarif cukai SKT. 

"Hal ini sangat penting mengingat tingginya serapan tenaga kerja di segmen SKT, di mana 7.000 pelinting dapat digantikan oleh satu mesin saja,” katanya.
 
Sementara itu, Sudarto mengungkapkan, beban yang berlebihan juga memberikan dampak langsung kepada pekerja. Dampak terburuk hingga pemutusan hubungan kerja. 

Fenomena tersebut terbukti dengan data yang jelas. Di mana saat ini, kata Sudarto, anggota FSP RTMM berjumlah hanya sekitar 340 ribu orang. Sepanjang 2010-2016, jumlah anggotanya berkurang sebanyak 32.729 orang akibat PHK. 

“Itu baru anggota FSP RTMM yang tercatat di data kami, kalau di luar itu lebih banyak,” katanya.
 
Ia juga mengatakan, PHK tersebut diperburuk dengan tingkat pendidikan buruh yang menjadi korban PHK biasanya hanya lulusan SD dan SMP. Untuk itu, sulit mendapatkan pekerjaan lain. 

Karena itu, pemerintah diharapkan memperhatikan aspek-aspek lain yang bisa menggerus industri ini di masa depan. “Tentu mereka akan kesulitan untuk mencari pekerjaan lagi. Saya pikir ini harus menjadi perhatian bersama,” ujarnya.