Warga Perbatasan RI Transaksi Pakai Dolar dan Ringgit
- Antara/ Yudhi Mahatma
VIVA.co.id – Bank Indonesia menegaskan, seluruh transaksi yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menggunakan mata uang rupiah. Kewajiban ini, telah tertuang dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang kewajiban menggunakan rupiah.
Meski demikian, masyarakat Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur mengungkapkan, di wilayah itu masih menerima transaksi dalam bentuk mata uang lain, seperti dolar Amerika Serikat, ringgit Malaysia, sampai dengan mata uang lainnya.
“Selama ini kami itu memang terima. Hampir semua warung dan toko di dekat sini semua punya itu dolar,” kata Sinyo, seorang pemilik warung sederhana saat berbincang dengan VIVA.co.id di lokasi, Selasa 18 Juli 2017.
Bahkan, Sinyo beserta pemilik warung lain mengaku tak mengetahui kewajiban penggunaan rupiah di wilayah NKRI. Menurutnya, kebiasaan melakukan transaksi menggunakan mata uang lainnya dengan para pendatang sudah terjadi sejak lama, dan tidak ada yang melarang.
Kawasan tersebut memang lokasinya berdekatan dengan Pos Lintas Batas Negara Mota’ain. Gerbang perbatasan yang menghubungkan langsung Indonesia - Timur Leste itu, memang setiap harinya dilalui pelintas batas sejak pukul 08.00 Waktu Indonesia Timur sampai dengan pukul 16.00 WITA.
Melalui program pilot project layanan kas menjangkau kecamatan dan desa atau BI Jangkau, bank sentral berharap bisa mempercepat distribusi uang layak edar ke masyarakat. BI ingin, agar ketersediaan rupiah bisa langsung berada di garis terdepan perbatasan.
Salah satu cara yang digunakan, dengan menyediakan layanan penukaran mata uang asing dan mesin anjungan tunai mandiri di wilayah perbatasan. Meskipun layanan ini baru berada di Pos Lintas Batas Negara Mota’ain, ke depan bank sentral akan menyediakan layanan serupa di seluruh gerbang perbatasan.
“BI wajib mendukung dan menyediakan rupiah hingga ke titik terdepan di wilayah NKRI. Sehingga tiak ada lagi transaksi yang menggunakan valuta asing di wilayah. Harus rupiah yang beredar di wilayah situ,” kata Deputi Gubernur BI Sugeng.
Dengan fasilitas layanan yang tersedia saat ini, Sugeng mengaku optimistis mampu menekan jumlah transaksi mata uang asing yang dilakukan di wilayah perbatasan. Apalagi, sejak diterbitkannya aturan kewajiban penggunaan rupiah, bank sentral berhasil menekan angka transaksi valuta asing di dalam negeri.
“Penggunaan dolar AS dalam transaksi bisa kami tekan dari sekitar US$6 miliar, menjadi sekarang hanya di kisaran US$1,4 miliar. Jadi tidak hanya peraturan kewajiban penggunaan yang kami keluarkan, tapi kami juga sediakan fasilitasnya,” katanya.
Kurang percaya diri
Gubernur NTT Frans Lembu Raya memandang, masih terjadinya transaksi menggunakan mata uang asing di wilayah perbatasan, lantaran pemikiran masyarakat setempat yang belum terbentuk untuk mencintai mata uangnya sendiri. Padahal, rupiah merupakan simbol dan jati diri bangsa.
“Kadang-kadang orang kita tidak percaya diri. Merasa yang di luar sana lebih hebat dari orang kita. Ini yang harus kita angkat. Kita harus tunjukan pada dunia, negeri ini punya harga diri,” tegasnya.
Pemerintah Provinsi NTT pun akan kembali mensosialisasikan kewajiban penggunaan rupiah di seluruh wilayah, tak terkecuali daerah perbatasan. Menurut Frans, meskipun daerah perbatasan dianggap wilayah terpencil, masih ada masyarakat yang bisa mengerti arti memiliki rupiah.
“Dulu saya bilang, buka itu money changer di perbatasan. Jadi orang yang masuk, bisa menggunakan rupiah. Nanti akan kami dorong kios, toko, Hypermart, warung hanya boleh menerima rupiah, jangan menerima dolar,” katanya.