Jangan Pertaruhkan NKRI demi Pilkada
- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id – Persoalan kebhinekaan menjadi perhatian dalam dua bulan terakhir ini. Aksi unjuk rasa berlebihan memprotes vonis hakim, isu ancaman Minahasa merdeka, hingga maraknya persekusi seolah-olah memperlihatkan memudarnya rasa kebangsaan.
Miris melihat suatu kelompok melakukan intimidasi terhadap individu atas perbuatannya yang dianggap menyudutkan tokoh tertentu. Tanpa proses hukum, kelompok ini menekan agar korban mengakui kesalahannya yang memposting sesuatu di media sosial.
Ada lagi kejadian seorang pejabat negara saat kunjungan kerja diusir oleh massa dengan membawa ancaman senjata tajam. Massa menolak kehadiran pimpinan lembaga negara tersebut hingga melakukan penggeledahan tempat publik seperti bandara udara.
Kejadian ini mengundang keprihatinan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Zulkifli Hasan. Rampungnya pelaksanaan pilkada serentak 2017 khususnya Pilgub DKI dinilai jadi kotak pandora yang menyisakan riak.
Selasa, pekan lalu, Zulkifli menerima Hardani Triyoga, Reza Fajri, dan Ikhwan Yanuar dari VIVA.co.id di kantornya, lantai 9, Nusantara III, kompleks parlemen, Senayan. Berbagai buku terkait Pancasila dan kebhinekaan menghiasi ruangan kerjanya.
Bagi Zulkifli, kejadian sebelum dan pasca Pilgub DKI harus dijadikan pelajaran. Semua pihak harus menerima dan menatap masa depan bangsa yang lebih penting. Semua elemen harus berperan dan berhenti saling menyakiti demi persatuan.
"Ya, itu pelajaran. Sudah. Jangan terus-terusan kayak melankolis gitu. Kayak orang patah hati," kata Zulkifli.
Ketua ke-15 MPR RI itu semangat menceritakan masalah kebhinekaan yang sering terjadi di tengah perjuangan lembaga yang dipimpinnya dalam program sosialisasi empat pilar. Berikut ini petikan wawancaranya.
Belakangan ini ada isu yang mengancam kebhinekaan, apa pendapat Anda?
Ya, tentunya kita prihatin ya, perkembangan dari mulai pilkada, pasca pilkada, khususnya DKI ya, yang katanya membuka kotak pandora. Karena memang menurut saya, jangan karena pilkada kemudian kita mempertaruhkan kebhinekaan, mempertaruhkan segala-galanya hanya demi pilkada yang hanya lima tahunan. Tentu akan berbahaya, karena kita negara yang beragam. Jangan kita mempertaruhkan NKRI, mempertaruhkan keberagaman, apalagi isu-isu agama, tentu akan sangat sensitif. Berbahaya kalau pilkada membawa-bawa hal seperti itu. Ini kan sudah selesai ya.
Makanya saya mengimbau ini segera diakhiri. Jangan sampai umat agama tertentu dan agama-agama lain merasa tersakiti. Terus masyarakat kita saling menyakiti. Masa kita keluarga saling menyakiti. Kita kan sebangsa dan setanah air. Segera kita hentikan. Kan pilkada sudah selesai. Kalau tidak puas kan ada jalur hukum. Saya juga berharap hukum memenuhi keadilan di masyarakat. Agar persoalan kebangsaan kita tidak terganggu dengan hal-hal yang terjadi.
Ada krisis kebangsaan dalam persoalan ini?
Saya mengatakan tidak krisis, tapi memudar. Nilai-nilai luhur ke-Indonesiaan kita itu mulai memudar. Bahkan menerjemahkan pengertiannya untuk kepentingan masing-masing. Itu berbahaya. Memang salah satu agenda terlupakan pasca 19 tahun Reformasi, adalah tidak ada lagi pelajaran-pelajaran Pancasila, civil, kewarganegaraan, penataran P4, kan hilang semua. Jadi, 19 tahun ini tidak ada pelajaran untuk membangun karakter bangsa itu. Ini akibatnya, ini risikonya. Orang tidak membangun Pancasila lagi. Kadang-kadang ditinggalkan. Oleh karena itu saya berharap, saya juga menyampaikan ke Presiden, kita bentuk lagi. Karena penting sekali. Membangun karakter bangsa itu kan sepanjang zaman dan dilakukan semua pihak. Tidak hanya MPR. Kalau hanya MPR saja tidak akan berhasil.
MPR selalu menggaungkan sosialisasi empat pilar, bagaimana perkembangannya?
Ini program, enggak bisa sosialisasi membangun karakter bangsa ini, enggak mungkin hanya MPR. Enggak mungkin bisa berhasil. Sedikit (kalau hanya MPR). Anggarannya kecil. Tapi, sebagai gerakan oke. Yang paling penting itu eksekutif, kementerian, gubernur, bupati, TNI, Polri, media, kampus-kampus. Semua harus terlibat. Jangan cuma nyiarkan lagu Indonesia Raya pas bangun tidur. Di mana nasionalismenya begitu.
Sudah komunikasikan masalah sosialisasi empat pilar dengan Presiden Jokowi?
Sudah. Presiden setuju, sangat mendukung. Karena itu Presiden mendukung lembaga pemantapan Pancasila. Karena penting itu, penting.
Ketua MPR Zulkifli Hasan. Foto: Ikhwan Yanuar/VIVA.co.id
Selama ini MPR aktif, ada merasa diabaikan dalam sosialisasi empat pilar?
Kita ini MPR saja, karena ditugaskan oleh undang-undang. Misalnya di Solo itu ada perusahaan besar, mereka minta kita sosialisasi empat pilar. Apalagi sekarang banyak yang minta. Kalau hanya MPR bagaimana? Karena semua ingin agar kita kembali ke Pancasila itu. Kalau hanya MPR enggak mungkin. Bupati ke mana, gubernur ke mana. Harus ikut semua. Kan enggak mungkin MPR saja. Apalagi ketua MPR cuma satu. Saya tadi pagi sudah sosialisasi dengan anak-anak muda. Kemarin di Solo. Terus setiap hari. Tapi, kan enggak akan besar dampaknya.
Saat gencar sosialisasi empat pilar, lalu terjadi isu kebhinekaan, anti Pancasila, apa reaksi Anda?
Ya, kita prihatin saja, sedih kan. Apalagi kalau Pancasila diartikan oleh masing-masing. Pancasila kan harus dipahami secara utuh. Jangan diartikan sepotong-sepotong oleh masing-masing. Masing-masing punya pengertian masing-masing kan repot. Satu menganggap paling Pancasila. Satu lagi paling Pancasila. Kan enggak bisa. Kan ada panduannya, pedomannya.
Mengenai pembubaran ormas yang dinilai pemerintah anti Pancasila?
Kalau bertentangan dengan konstitusi apa pun enggak boleh. Kalau ada yang mau merdeka ya perangi, tangkap. Kalau ada yang mau bikin negara lain, ya dibubarkan. Tapi, ada prosedurnya. Hukum panglimanya. Tapi, kalau tidak sesuai prosedur kan nanti orang-orang simpati. Persuasif. Satu dua orang dipanggil. Setelah itu kemudian pengadilan. Kan enggak bisa semena-mena.
Artinya, pemerintah mendahului tanpa proses hukum terlebih dulu?
Ya itu saya katakan mendahului. Kita kan negara hukum. Harusnya ikutilah hukum. Kan ada Undang Undang Ormas. Jangan sampai dikesankan ya kita tidak mengikuti undang-undang. Diatur itu bagaimana dalam membubarkan ormas. Kalau tidak mengikuti proses hukum, akan repot kita.
Selanjutnya, Nilai Pancasila
Apakah pendidikan Pancasila perlu sejak usia dini diajarkan?
Mestinya ada pelajaran dari SD, SMP, SMA. Cinta Tanah Air kan kalau enggak diajarin bagaimana. Cinta Tanah Air bagian dari iman. Akhirnya nilai-nilai luar masuk. LGBT lah. Saya dimarahi orang karena saya suruh LGBT harus dihukum berat. Dia somasi kita. Saya pernah dianggap melanggar HAM. Kan malah aneh-aneh kita ini. Terus misalnya ada menyelundupkan narkoba kok 1 ton, kan bagaimana? Kan kerja sama oknum pasti.
Berarti kan kita nilai-nilai cinta Tanah Air luntur, memudar, mau meracuni anak-anak sendiri. Bagaimana miras dibebaskan. Itu kan (anak-anak) keluarga kita juga. Jadi, ibaratnya tuh ideologi tidak kuat, masuk itu dari luar macam-macam. Seperti badan ini kalau enggak sehat masuk penyakit macam-macam. Kena flu lah, jantung lah. Sama dengan negara. Oleh karena itu, ideologi ini penting dimasyarakatkan. Itu yang menjadikan ketahanan berbangsa dan bernegara.
Berarti saat ini masih minim?
Malah 19 tahun reformasi ini enggak ada. Kecuali MPR. Mana buku Pancasila, enggak ada. Disampaikan ke bupati, pak ayo dong sosialisasi Pancasila. Ah, itu kan bukan tugas kita pak. Jadi, bapak tugasnya apa? Kalau ada proyek, kita jalan. Pancasila itu orang-orang tua saja pak. Tadi barusan di-SMS, di Undip ada mahasiswa yang mengatakan Garuda kafir, macam-macam deh. Prihatin. Kan enggak akan begini kalau memahami Pancasila dengan benar.
Apa yang harus dilakukan Presiden Jokowi terkait situasi ini?
Ini dengan membangun karakter bangsa secara masif. Menghidupkan lagi metodenya, disesuaikan dengan sekarang. Tidak seperti zaman Pak Harto. Membangun karakter bangsa kan harus terus menerus dilakukan oleh eksekutif dan sebagainya. Itu penting sekali. Ya oleh kementerian, gubernur, bupati, kampus-kampus, media.
Ketua MPR Zulkifli Hasan di ruang kerjanya. Foto: Ikhwan Yanuar/VIVA.co.id
Banyak pejabat negara terkena OTT KPK, apakah ini krisis cinta Tanah Air?
Saya prihatin ya. Ya, itulah orang jadi pejabat dianggap jalan cepat jadi kaya kan. Orang jadi pejabat butuh duit juga, akhirnya mutar. Jadi yang harus dibenahi undang-undangnya. Penegakan hukum sudah oke, tapi enggak cukup. Kalau sistemnya masih high cost gini, (jadi pejabat dan lainnya) mahal, partai politik mahal, enggak dibiayai negara, tetap saja habis lama-lama.
Kalau di negara maju bagaimana. Partai dibiayai pemerintah, pemilu dibiayai pemerintah. Iklan enggak boleh bebas begitu. Semua orang perlakuannya adil, kandidat enggak boleh menyogok. Saya pernah konsultasi dengan KPU-nya Meksiko. Orang jadi anggota DPR enggak boleh lebih Rp500 juta, nanti di-dis (diskualifikasi). Enggak boleh minta dari perusahaan apa pun. Swasta enggak boleh. Tapi dibiayai pemerintah. Jadi undang-undangnya diberesi. Yang kedua, rakyat juga harus sadar. Dia milih jangan karena NPWP, nomor piro wani piro. Dia milih karena oh pemimpin ini layak dipilih.
Apakah karena hukumannya enggak bikin jera, sehingga marak korupsi?
Hukumannya sudah berat itu. Tapi, kalau undang-undang enggak diberesi begini, mau apa lagi? Jadi, dibenahi undang-undangnya agar tidak ada orang korupsi. Yang enggak ketangkap KPK untung saja ya kan. Yang sial ketangkap, yang enggak sial enggak ketangkap. Nah ini yang harus ditata. Nangkap orang iya, tapi kalau sistemnya masih demokrasi mahal begini bagaimana coba? Jadi bagaimana, nyari duit lagi pasti buat bayar utang.
Dengan OTT auditor BPK, laporan lembaga atau kementerian apakah bisa dimanipulasi?
Ya, saya enggak tahu teknisnya. Yang jelas prihatin. DPR sudah banyak masalah, gubernur banyak yang kena. Sekarang BPK. Nanti rakyat enggak percaya sama negara.
Selanjutnya, Move On dari Kasus Ahok
Pasca Pilkada DKI ini kan masih ada sentimen SARA, menurut Anda?
Oleh karena itu kita harus move on. Buat apa saling menyakiti. Pilkada kan nanti ada pemilihan lagi. Pilkada memberi pelajaran penting. Hati-hati saat bersikap. Jangan sampai pernyataan-pernyataan kita memecah belah. Rugi semua kita kalau ada apa-apa di negeri ini.
Ada pesan kepada pihak yang menang dan kalah?
Ya, saya berharap semua rakyat Indonesia bersatu. Mari kita bersatu kembali. Banyak program-program pembangunan yang memerlukan energi. Jangan gara-gara itu kita terus terbawa, sementara dunia terus berputar, persaingan terus terjadi. Kita menghadapi tantangan baik nasional maupun internasional. Mari kita fokus membangun negeri ini. Meningkatkan daya saing, membantu pemerintah agar bisa melaksanakan janji-janji kampanyenya dulu. Entar kalau pembangun berhasil, seluruh rakyat Indonesia akan berbahagia dan semua akan diuntungkan.
Artinya harus dilupakan adanya kasus Ahok ini?
Ya itu pelajaran. Sudah. Jangan terus-terusan kayak melankolis gitu. Kayak orang patah hati. Sudah kita setop. Persatuan yang utama. Itu pendapat saya.
Ketua MPR Zulkifli Hasan. Foto: Ikhwan Yanuar/VIVA.co.id
Marak terjadi aksi persekusi belakangan ini, apa tanggapan Anda?
Jangan main hakim sendiri. Tak benar persekusi dengan mengintimidasi, menekan. Semua ada aturan. Percayakan kepada aparat. Kita adalah negara hukum. Tapi, kita juga hati-hati, dalam bersikap atau memposting segala sesuatu di media sosial.
Selanjutnya, Revisi Pimpinan MPR
Ada usulan untuk merevisi UU MD3 terkait penambahan pimpinan MPR. Anda setuju?
Ya saya setuju ada penambahan. Seperti PDIP sebagai pemenang pemilu kok enggak ada di pimpinan? Berapa jumlahnya, ya rundingkan lah. Ya, tapi jangan sebelas dong, nanti main bola. Apa kata dunia kalau pimpinan MPR 11 orang.
Berapa idealnya menurut Anda?
Terserah mereka yang membahasnya. Tapi, jangan kesebelasan. Saya kan enggak mau intervensi. Tapi, kan ada kepantasan dan kepatutan.
Banyak yang menilai kinerja belum baik, tapi ada usulan penambahan pimpinan MPR. Apakah itu layak?
Menambah itu saya setuju, karena ada partai pemenang pemilu kok enggak ada (di pimpinan MPR). Oke. Tapi kalau 11 kan tidak patut, tidak memenuhi rasa kepatutan. Berapa? Silakan runding. Saya kan enggak mau intervensi.
Baleg DPR kabarnya ingin minta pendapat Anda sebagai ketua MPR?
Belum pernah. Ya kita tunggu. Ya, saya katakan jangan bikin kesebelasan.
Apa memang lembaga parlemen sudah tidak dipercaya rakyat?
Tapi, MPR kan skornya masih 63. DPR cuma 20. Urutannya kan Presiden, KPK, MPR. Kalau enggak salah MPR 3 atau 4 besar.
Nah, untuk mempertahankan tiga besar itu bagaimana upaya MPR?
Ya kita kan di sini musyawarah mufakat. Kita melaksanakan Pancasila betul di sini. Ada apa-apa kita musyawarah, ambil keputusan sama-sama. Walau saya ketua MPR, lengket dengan empat wakil. Berunding dulu. Memang tidak cepat. Sehari enggak sepakat, baru di hari ketiga baru sepakat. Kita menerapkan Pancasila di sini.
Artinya, sepakat juga dengan penambahan pimpinan MPR dan DPR?
Kita sudah sepakat waktu itu perlu. Tadi alasannya PDIP kok enggak ada. Kita sepakat, setuju semuanya. Tapi dalam batas kepatutan dan kepantasan.
Apa tantangan yang jadi PR besar MPR saat ini?
MPR ini kan menjaga konstitusi. Itu jadi PR besar kita itu bagaimana Pancasila ini dijadikan pedoman, dijadikan perilaku bagi kita semua. Dengan persepsi pengertian yang sama begitu. Jangan masing-masing. Kan ada pedomannya, panduannya.
Apakah dengan kondisi saat ini, upaya itu menjadi sulit?
Enggak sulit, asal ada kemauan.
Selama menjadi ketua MPR, apa tantangan terberat?
Ya soal persatuan. Memasyarakatkan nilai-nilai luhur kita itu. Itu tantangan paling berat. Bagaimana Pancasila jangan hanya slogan. Kalau ribut pemilu baru Pancasila. Sehari-hari itu ya perilakunya harus Pancasila, karena Pancasila kan pandangan hidup. Dia bisa mempersatukan kalau itu dijadikan perilaku. Misal tokoh politik ya, memilih gubernur, kedaulatan demokrasi Pancasila kan kedaulatan milik rakyat. Tapi, karena enggak paham ditukar sembako. Kan enggak boleh begitu.
Milih itu kan dengan kesadaran penuh. Yang diyakini mampu memperbaiki negeri ini. Sekarang kan tidak. Karena pemahaman Pancasila kurang sosialisasinya. Mana NPWP, nomor piro wani piro. Karena politiknya transaksional, politik uang merajalela, itu tidak Pancasilais. Bertentangan dengan Pancasila. Itu tantangan paling berat. Misal satu lagi, di UUD itu jelas kedaulatan itu di tangan rakyat.
Kalau sesuai Pancasila, tugasnya pemimpin itu kan melayani rakyat. Melayani. Tapi sekarang kan cari proyek. Jalan cepat jadi kaya, obral izin. Ini yang menimbulkan masalah. Berarti pemimpin itu tidak Pancasilais. Itu maksudnya. Misal di satu kabupaten ini kaya. Emas ada, batu bara ada. Tapi rakyatnya enggak dapat apa-apa. Itu yang enggak melaksanakan Pancasila.