Kegalauan Soal Reklamasi Teluk Jakarta Ganggu Properti

Proyek Reklamasi di Teluk Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Zabur Karuru

VIVA.co.id – Rencana pemimpin baru DKI Jakarta, Anies Baswedan-Sandiaga Salahudin Uno, menghentikan proyek reklamasi di Teluk Jakarta, dinilai akan menjadi preseden buruk bagi investasi di Indonesia, khususnya sektor properti. Apalagi, proyek ini sudah melalui tahapan sesuai aturan yang dibuat pemerintah sendiri. 

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda, mengaku heran dengan pernyataan pemerintahan terpilih yang terus berubah terkait reklamasi Teluk Jakarta. 

“Sebelumnya katanya setop reklamasi, sekarang untuk fasilitas publik. Saya bingung dengan perubahan pernyataannya,” kata Ali dikutip dari keterangannya, Senin, 22 Mei 2017.

Keputusan penghentian proyek reklamasi secara sepihak oleh pemerintah Jakarta juga berpotensi mendapatkan gugatan hukum dari para pengembang. Hal ini akan membuat situasi investasi properti di Indonesia, khususnya Jakarta, semakin memburuk. 

Ali menjelaskan polemik reklamasi Teluk Jakarta sangat kental dengan nuansa politik. Padahal, reklamasi Teluk Jakarta sudah sesuai dengan peraturan pemerintah daerah.

Data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta menunjukkan, sektor properti (real estat dan konstruksi) setiap tahun menyumbang rata-rata 19 persen dari total Produk Domestik Regional Bruto. Angka ini merupakan nilai awal saat proyek dilakukan, sehingga belum memperhitungkan dampak ikutan (multiplier effect) dari proyek properti secara keseluruhan. 

Sementara itu, Pengamat Tata Ruang dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menyatakan Anies-Sandi harus memiliki dasar hukum yang tetap terlebih dahulu jika ingin menghentikan proyek reklamasi. 

"Karena yang membangun itu swasta. Mereka sudah mengeluarkan biaya pembangunan tersebut," ujar Yayat. 

Selain izin dari pemerintah provinsi, Yayat melanjutkan, pembangunan pulau reklamasi juga berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 52 Tahun 1995. Keppres tersebut dikeluarkan Presiden Soeharto pada 13 Juli 1995.

"Kalau mau dihentikan, harus ada dasar hukum yang jelas dulu. Sementara pemerintah pusat inginnya melanjutkan pembangunan reklamasi," tutur Yayat.   

Anggota tim sinkronisasi Anies-Sandi, Marco Kusumawidjaja, sebelumnya mengatakan akan tetap menghentikan pembangunan pulau reklamasi. Pembangunannya dinilai menyalahi Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan tanpa ada Peraturan Daerah (Perda) Zonasi. Anies-Sandi pun menolak mengeluarkan biaya ganti-rugi kepada pengembang. 

Menurut Yayat, langkah tim sinkronisasi Anies-Sandi terkesan 'buang badan'. Hal ini akan menjadi preseden buruk bagi para pengembang.

"Jangan sampai buang badan atau cuci tangan. Kalau menyalahkan kepada pengembang, pasti ini nantinya ada persoalan kepercayaan. Kalau begini pengembang akan menjadi stigma negatif," ucap Yayat. (ase)