Tarif Bea Keluar Freeport Diklaim Tak Langgar Aturan

Wilayah pertambangan terbuka Freeport di Timika, Papua.
Sumber :
  • ANTARA/Muhammad Adimaja

VIVA.co.id – Sejumlah pengamat memandang pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus sementara kepada PT Freeport Indonesia telah melanggar aturan, karena tak punya payung hukum. Seolah diberi ‘karpet merah’, pemerintah juga memberi bea keluar atau BK kepada Freeport dengan tarif lima persen, meskipun pembangunan fisik smelter Freeport belum mencapai 30 persen. 

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono membantah bahwa pemberian bea keluar ekspor Freeport sebesar 5 persen telah melanggar aturan. Ia mengatakan, kementerian memberikan BK sebesar lima persen hanya untuk sementara.

"Jadi dulu kan historisnya (Freeport) pernah bayar BK segitu, dan pernah menggarap itu (smelter), verifikasi (pembangunan smelter) nya belum selesai saja. Sementara bunyiannya seperti, nanti menteri akan mengevaluasi lagi," kata Bambang kepada VIVA.co.id saat dihubungi, Kamis 27 April 2017. 

Seperti diketahui, dalam Peraturan Menteri Keuangan atau PMK Nomor 13/PMK.010/2017 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, diatur bahwa tarif bea keluar pertambangan minerba dikenakan sesuai dengan progres pembangunan smelter. 

Hingga kini, proses verifikasi kemajuan pembangunan smelter Freeport masih belum diketahui dan sering disebut bahwa progresnya hanya mencapai 14 persen serta hanya untuk pembebasan lahan. Meskipun, sebelumnya, ketika dikonfirmasi, juru bicara Freeport Indonesia, Riza Pratama, mengklaim perusahaan berkomitmen untuk melakukan pembangunan smelter.

"Kami sudah punya smelter pertama di Gresik yang beroperasi sejak 1998. Kami berkomitmen untuk membangun smelter yang kedua dengan disertai perpanjangan operasi kami sampai 2041, yang tertuang dalam perjanjian stabilitas investasi," ujar Riza.

Sementara itu, jika harus sesuai aturan, pengenaan tarif bea keluar dengan tingkat kemajuan pembangunan fisik dari nol persen hingga 30 persen dikenakan tarif bea keluar 7,5 persen. Lalu, untuk progres fisik 30-50 persen dikenakan lima persen, kemudian, 50-75 persen dikenakan 2,5 persen dan jika lebih dari 75 persen dikenakan 0 persen. 

"(Freeport diberi lima persen) artinya dalam hal sementara, posisinya seperti itu, nanti akan dievaluasi lagi," ujar dia.

Ia melanjutkan, pengenaan bea keluar lima persen adalah sesuai dengan perjanjian kontrak karya sebelumnya dan sesuai dengan kebiasaan Freeport selama ini melakukan operasinya di tanah Papua. Meski dengan penetapan BK lima persen, Bambang pun mengklaim tidak melanggar aturan.

"Ya enggak-lah (langgar aturan), nanti kan dievaluasi,” ungkapnya.