Pemuda NU Tak Surut Dukung Pemerintah Lawan Freeport
- ANTARA/Muhammad Adimaja
VIVA.co.id - Gerakan Pemuda Ansor, organisasi sayap pemuda Nahdlatul Ulama, terus mendukung ketegasan pemerintah dalam proses negosiasi dengan PT Freeport Indonesia, meski upaya itu belum menemukan titik temu.
Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor, Yaqut Cholil Qoumas, menganggap Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) masih menunjukkan sikap ketegasan tentang perundingan dengan PT Freeport. Hal itu ditunjukkan dengan sikap pemerintah yang berkukuh menginginkan perubahan status Kontrak Karya (KK) Freeport menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
"Ini merupakan bentuk penguasaan negara dalam hal sumber daya alam. Dukungan Ansor kepada pemerintah tidak akan surut. Pemerintah tegas terkait perubahan kontrak karya menjadi IUPK, serta divestasi saham Freeport sebesar 51 persen," kata Yaqut di sela koordinasi Harlah ke-83 Ansor di Semarang, Senin 20 Maret 2017.
Sikap Menteri ESDM Igansius Jonan, kata Yaqut, seperti apa yang diharapkan Ansor sejak awal. Ketegasan bertujuan, agar pengelolaan sumber daya alam, terutama migas, lebih berkeadilan dan menguntungkan Indonesia. Sebab, keuntungan yang diberikan PT Freeport selama ini kepada negara masih jauh dari harapan. Terutama, berkaitan kesejahteraan rakyat, sistem pengelolaan, dan penerimaan negara.
"Langkah perubahan kontrak karya menjadi IUPK itu, agar pengelolaan lebih berkeadilan dan menguntungkan Indonesia. Peran pemerintah dalam IUPK lebih besar daripada Kontrak Karya yang kedua belah pihak setara," ujar anggota Komisi VI DPR RI itu.
Mafia migas
Menilik ke belakang, Yaqut juga mengapresiasi upaya pemerintah dalam memberantas kecurangan dalam bisnis migas, atau mafia. Sampai akhir 2016, skema kontrak kerja dalam bisnis migas menggunakan sistem production sharing cost (PSC) dengan cost recovery (pengembalian biaya produksi). Namun, skema cost recovery menjadi tidak efisien dan timbul kecurangan, penggelembungan biaya, hingga biaya siluman dan korupsi.
"Ada potensi kecurangan dalam sistem itu (PSC cost recovery) seperti data yang dimanipulasi dan biaya cost recovery yang harus dibayarkan negara kepada KKKS (kontraktor kontrak kerja sama) lebih besar dari yang diterima negara," katanya.
Kementerian ESDM, kemudian mencoba membuat terobosan dengan mengubah PSC cost recovery menjadi gross split. Skema itu hal baru di Indonesia dengan pembagian yang lebih menguntungkan negara.
"Ini merupakan rentetan upaya pemerintah dalam menguasai kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar," ujarnya.
Hal itu juga berlaku dalam proses negosiasi dengan PT Freeport. Freeport yang sudah berpuluh tahun menguasai tambang di Papua, memiliki penghasilan besar setiap tahun. Namun, yang diberikan kepada negara hanya sekian persen dari keuntungan yang diterima perusahaan asal Amerika itu. Begitu juga, dengan nilai upah yang diberikan kepada pekerja di Indonesia yang perbandingannya cukup jauh.
"Kesenjangan upah yang diterima pekerja di Freeport tidak manusiawi. Bahkan, menjadi bentuk eksploitasi sumber daya alam secara tidak berkeadilan, tidak berpihak pada penduduk lokal," kata Yaqut. (asp)