Pasar Ekspor Baru Buka Peluang RI Genjot Hilirisasi Produk

Pelabuhan Peti Kemas Soekarno-Hatta Makassar, Sulawesi Selatan, pada Jumat, 20 Januari 2017.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Yasir

VIVA.co.id – Sejumlah kesepakatan dan perjanjian dengan negara-negara tujuan ekspor non-tradisional menjadi momentum untuk mendorong produk hilir dari sejumlah komoditas andalan Indonesia. 

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita beberapa waktu lalu mengatakan, hilirisasi tersebut, selain mengurangi dampak fluktuasi harga komoditas juga dapat memperluas akses pasar dan dampak ekonomi. Momentum banyaknya kerja sama internasional yang baru, diyakini menjadi indikator bertambahnya keyakinan investor- investor untuk lebih berinvestasi di bidang manufaktur, mengolah barang mentah menjadi barang jadi.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menuturkan, tanpa kerja sama dan promosi apapun, sebenarnya Indonesia telah menjadi negara tujuan investasi yang masuk dalam 10 besar dunia, bahkan sempat menduduki nomor tiga dunia. 

Karenanya, persepsi yang baik di luar negeri terhadap ekonomi Indonesia ini, harus dikapitalisasi menjadi tindakan nyata berupa peningkatan investasi dan volume perdagangan. 

Khusus untuk peningkatan perdagangan, Enny mengatakan, sejauh ini sekitar 70 persen ekspor Indonesia masih mengandalkan komoditas. Melihat fakta itu, artinya selama ini hanya negara-negara tertentu dengan industri maju seperti Amerika, China dan Jepang yang paling banyak menyerap barang ekspor Indonesia sebagai bahan baku industri mereka. 

“Tapi kalau ekspor kita itu bisa kita geser ke sektor produk, tentu negara-negara yang berada di luar negara industri seperti Afrika Selatan, Timur Tengah, dan juga beberapa negara di Amerika Latin serta Eropa, bisa kita masukkan produk kita,” kata Enny dikutip dari keterangan resminya, Selasa 14 Maret 2017.

Khusus potensi investasi dari Timur Tengah, Enny mengatakan, dana dari kawasan tersebut masih lebih banyak mengalir ke investasi portofolio. Dengan momentum banyaknya kerja sama dan kesepakatan baru, Indonesia bisa meyakinkan investor-investor di negara tersebut untuk berinvestasi di industri hilir komoditas asli Indonesia. 

“Misalnya berbagai macam industri yang berbasis kelapa sawit dan komoditas pertanian untuk memenuhi kebutuhan pasar Timur Tengah,” ungkapnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Arlinda mengatakan, kondisi perekonomian dunia saat ini mendorong negara-negara di dunia ingin melindungi industri di dalam negerinya masing-masing. Hal tersebut menurutnya mengakibatkan Non-Tariff Barrier (NTB) sepertinya kembali digunakan sebagai mekanisme bertahan masing masing negara. 

"Akibat negara-negara maju menggunakan mekanisme standardisasi, NTB semacam ini  berpotensi menghambat ekspor Indonesia ke negara-negara potensial tujuan ekspor,” serunya. 

Melihat terbukanya pasar baru ekspor sebagai suatu keniscayaan, pemerintah pun mau tak mau gencar menggaet potensi dagang dengan negara non-tradisonal. Untuk negara tradisional, penguatan dagang dan pengembangan variasi produk menjadi solusi. 

Seperti diketahui penandatanganan nota kesepahaman sektor perdagangan dengan Arab Saudi baru-baru ini dilakukan untuk komoditas bernilai tambah. Meskipun dalam beberapa tahun ini telah terjadi kemerosotan minat dagang Arab Saudi dengan Indonesia. 

Bahkan berdasarkan data neraca perdagangan terlihat kekosongan beberapa sektor yang menurutnya masih berpotensi untuk digenjot.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan,  transaksi perdagangan Indonesia dengan Arab Saudi periode 2015-2016 mengalami penurunan, sebesar 26 persen menjadi US$4,01 miliar pada 2016 dibanding setahun sebelumnya. 

Data dari UN Comtrade juga menyebutkan, di 2012 sampai 2014, neraca dagang Indonesia dengan negara negara yang tergabung dalam Indian Ocean Rim Asociation (IORA) tercatat defisit sebesar US$4,2 milar, US$4,9 miliar dan US$1,5 miliar.

Baru pada tahun 2015 neraca dagang Indonesia dengan negara-negara IORA kembal tercatat surplus sebesar US$2,5 miliar dan sebesar US$1,45 miliar di 2016. Nilai surplus itupun tersebut belum menyamai capaian terbesar surpus di atas US$ 5 miliar yang terjadi di 1998, 2000 dan 2007.

Secara umum, sepanjang 2016, neraca perdagangan Indonesia tercatat surplus US$8,78 miliar, meningkat 14,5 persen dibandingkan 2015 sebesar US$7,67 miliar. Nilai ekspor Indonesia sendiri tercatat sebesar US$144,43 miliar dengan impor impor US$135,65 miliar.

Surplusnya neraca perdagangan terjadi lebih karena penurunan angka impor jauh lebih tinggi dibanding penurunan ekspor. Tercatat nilai impor pada 2016 tersebut turun 4,94 persen dari tahun sebelumnya sebesar US$142,7 miliar. Penurunan tersebut lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya sebesar 3,95  persen. Sementara ekspor turun dari US$150,4 miliar di 2015 menjadi US$144,43 miliar di 2016.

Menko Perekonomian Darmin Nasution mengakui, selama puluhan tahun Indonesia terlalu banyak mengandalkan ekspor bahan mentah. Untuk mengatasi tantangan ini, dibutuhkan perusahaan perdagangan yang besar sehingga memiliki kemampuan dalam mengelola hasil perkebunan tersebut.

Ia mencontohkan, bagaimana selama ini Singapura menjadi negara tujuan ekspor hasil perkebunan Indonesia, menyerap komoditas dengan harga rendah. Namun, ketika sudah sampai di Singapura, hasil perkebunan tersebut diolah lagi, dan malah memiliki nilai jual hingga tiga kali lipat harga yang dibeli dari Indonesia.

Terlepas dari hal tersebut, pemerintah  saat ini sudah mengambil inisiatif untuk meningkatkan kerja sama di kawasan Samudera Hindia yang lebih jelas arahnya. Hal ini bisa dilihat dari aksi Presiden Joko Widodo yang menyempatkan bertemu dengan beberapa kepala negara seperti Bangladesh, Yaman, Iran, India, dan Mozambik untuk membicarakan kerja sama ekonomi baik investasi maupun perdagangan.