DPR: Freeport Langgar Aturan, Tak Perlu Lagi Perundingan

Diskusi membedah skema perundingan antara Pemerintah dan PT Freeport Indonesia.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Fikri Halim

VIVA.co.id – PT Freeport Indonesia sudah terlalu lama menguasai Sumber Daya Alam Indonesia. Padahal, kontribusi perusahaan asal Paman Sam itu ke Indonesia tidak begitu besar. 

Demikian diungkapkan Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu. Ia mengatakan, sejak 56 tahun yang lalu Freeport selalu mengerdilkan pemerintah lantaran perjanjian yang dibuat, sama sekali tidak dihargai pemerintah.

Salah satunya adalah komitmen PT Freeport Indonesia yang tak kunjung merealisasikan pembangunan smelter-nya. Di satu sisi, pemerintah justru memberikan relaksasi (pelanggaran) aturan secara berulang-ulang bagi Freeport untuk bisa melakukan ekspor konsentratnya. 

"Saya yakin pak Jokowi jauh lebih berani dan ini diikuti oleh kemauan dari Menterinya. Jadi tidak ada alasan untuk tunduk pada Freeport. Karena sudah 50 tahun. Jadi sebenarnya bukan Freeport yang hebat, kita yang bego," kata Masinton dalam diskusi di Menteng, Jakarta, Jumat 10 Maret 2017. 

Ia mengatakan, jika dihitung selama 50 tahun lebih Freeport di Indonesia, tidak ada satupun kontribusi yang menguntungkan Indonesia. "Lalu, kenapa kita harus berunding. Enggak ada satu alasan pun yang harus Freeport itu menang (di Arbitrase). Enggak ada," ujar dia.

Aliran Dana Royalti Freeport

Sampai saat ini, sambung dia, Pemerintah pun tidak mengetahui berapa cadangan emas yang berada di tambang Freeport. Selain itu, royalti yang diberikan pun terlalu kecil. "Dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) US$169 juta per tahun potensi kerugian negara (dari royalti). Kami minta KPK selidiki. Jadi enggak ada alasan," tutur dia. 

Masinton pun menegaskan kembali bahwa tak perlu lagi ada kompromi antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia. Pemerintah harus segera melakukan tindakan tegas untuk nasionalisasi tambang milik Indonesia yang dikuasai asing tersebut. 

"Bagi saya ini jadi momentum praktik nawacita dan saya yakin kita boleh beda politik tapi kalau dari kepentingan nasional kita harus satu bahasa," ujar dia.