Saatnya RI Ambil Alih Operasi Tambang Freeport
- VIVA.co.id/Banjir Ambarita
VIVA.co.id – PT Freeport Indonesia dinilai terlalu dipermudah dalam operasinya selama kurang lebih 50 tahun di Indonesia. Kendati demikian, nyatanya Freeport tidak memberikan apresiasi kepada pemerintah, bahkan terus meminta negosiasi hingga berniat melakukan arbitrase ke badan hukum Internasional.
Pengamat Sumber Daya Alam, sekaligus Dosen Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi mengatakan, PT Freeport Indonesia sudah terlalu lama diberikan kemudahan dalam operasinya di Indonesia. Seharusnya, kewajiban Freeport harus dipenuhi, seperti pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) yang tidak juga dilakukan.
"Tidak ada alasan untuk tidak bangun smelter, Freeport memang mereka bicara hanya kepentingan ekonominya saja, seharusnya paradigma itu diubah, tambang itu harusnya tidak hanya untuk ekonomi, tapi juga komoditas dasar untuk pembangunan nasional," kata Redi dalam diskusi Publik "Quo Vadis Kebijakan Minerba Nasional" di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa 21 Februari 2017.
Ia menilai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara (Minerba) bertentangan dengan konteks pembangunan nasional. Ia berharap pemerintah, melalui konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dapat menjadi pengelola di tambang Grasberg, Papua tersebut.
"Sudah saatnya kita mengambil alih operasi di sana, saya sependapat bahwa ada beberapa skema besar yang perlu diambil untuk mengelola di situ, seperti BUMN, misalnya PT Bukit Asam, PT Timah, PT Antam, dan Inalum melalui Holding Pertambangan itu, atau skema kedua bisa melalui Perbankan, Konsorsium BUMN Perbankan yang ambil di sana," kata dia.
Mengenai keinginan Freeport untuk melakukan Arbitrase, Redi mengatakan pemerintah tak perlu gentar, lantaran, Indonesia berada dalam posisi yang kuat. "Kita harus berani saja, karena tidak ada yang salah," ujar dia. (adi)