Bos KPPU Duga Ada Kartel di Balik Mahalnya Cabai

Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Muhammad Syarkawi Rauf.
Sumber :

VIVA.co.id – Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha, atau KPPU Muhammad Syarkawi Rauf kaget, saat mendapati pedagang yang menjual cabai dengan harga Rp140 ribu per kilogram. Harga tersebut ditemukanya, saat melakukan inspeksi mendadak, atau sidak di Pasar Sudiang, Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Makassar, Kamis 9 Februari 2017.

"Harganya berapa bu? Berapa harganya? Rp140 per kg yah. Wah, harga cabai makin mahal yah," ucap Syarkawi, setelah melontarkan pertanyaan kepada Maryati (60), salah satu pedagang cabai di Pasar Sudiang. 

Saat Syarkawi menanyakan dapat pasokan cabai di mana, Maryati mengatakan, dia membelinya di pedagang juga di Pasar Terong Makassar dengan harga Rp130 ribu. 

"Tadi pagi, saya beli di (Pasar) Terong Pak, Rp130 ribu. Saya jual Rp140 ribu, biar bisa untung juga," ucapnya. 

Menanggapi naiknya harga cabai, Menurut Syarkawi, harga cabai melonjak tinggi ditengarai beberapa faktor. 

"Satu, jelas rantai distribusi yang jadi soal, karena misalnya tadi di dalam (pedagang lain) itu harganya Rp90 ribu, karena bapaknya yang di dalam itu dia itu tangan ke dua. Nah, kalau Ibu ini kan, sudah tangan ke empat. Sehingga, rantai distribusi semakin panjang yang membuat harga juga semakin tinggi," jelasnya.

Kedua, faktor adanya permainan kartel di salah satu rantai distribusi cabai hingga ke konsumen, atau masyarakat. "Nah, makanya nanti ke depan, memang ini perlu dipikirkan bagaimana caranya mengeneralkan rantai distribusi itu," jelasnya. 

Faktor ketiga, lanjutnya, saat ini suplai cabai memang sedang kurang akibat cuaca buruk.

"Distribusi memang kurang, tetapi penurunan produksi tidak seharusnya membuat harga itu menjadi di atas 100 ribu. Nah, tetapi faktanya sekarang harganya di atas 100 ribu," ucapnya. 

Tiga solusi tekan harga cabai

Menurut Syarkawi, ada tiga solusi yang dapat dilakukan, guna menekan harga cabai. 

"Solusinya di cabai ini tiga, di hulu. Di hulu itu memang harus ada pengaturan panen maupun pengaturan tanam. Karena, misalnya kemarin saya ke Malang, di sana itu di bulan 11 (November), 12 (Desember) produksi cabainya sangat banyak, tetapi sekarang langka," terangnya. 

Solusi selanjutnya, harus ada upaya dari pemerintah untuk dapat menstabilkan harga cabai dari tingkat petani, ke penampung, pedagang, hingga ke konsumen. Meskipun persediaan, atau pun suplai cabai melimpah di petani, tetapi harga harus tetap stabil, begitu pun sebaliknya. 

"Saat produksi banyak, harga turun. Nah, ini kalau tidak diantisipasi oleh pemerintah harganya pasti turun lagi. Sehingga, harus ada upaya untuk menstabilkan harga, sehingga pendapatan bagi petani kita itu bisa relatif lebih stabil," ujarnya. 

Tawaran solusi ketiga, lanjut Syarkawi, pemerintah harus sigap dan tanggap terhadap masalah-masalah yang dialami petani cabai. Misalnya ketika musim hujan, atau cuaca buruk yang membuat petani gagal panen.

"Musim hujan itu ongkos bertanam cabai itu jauh lebih mahal dibanding musim kemarau, karena kalau di musim hujan biasanya semprotnya itu lebih sering. Semprot vaksinnya bisa tiga kali, satu kali sampai tiga juga, berarti sembilan juta. Kalau musim kemarau, hanya sekali semprot ongkosnya itu tiga juta. Yah, kalau biayanya lebih tinggi pasti harga lebih mahal," ungkapnya. 

"Bahkan, ongkos petik jauh lebih mahal dibanding harga cabainya sendiri. Akibatnya, petani di Malang itu menerlantarkan cabainya, bahkan ada yang cabut diganti dengan tanaman lain," tambahnya. (asp)