Penugasan Bulog Tak Mampu Stabilkan Harga Gula
- Pixabay/gugue
VIVA.co.id – Harga sejumlah komoditas pangan, khususnya gula, sepanjang 2016, ternyata tak juga mengalami kestabilan. Bahkan, harga saat menjelang hari raya Idul Fitri lalu, menembus angka Rp14 ribu per kilogram. Harga tersebut, lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi, atau HET yang ditetapkan pemerintah, yaitu sebesar Rp12.500 per kilogram.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI) Soemitro Samadikoen mengatakan, tidak stabilnya harga gula tentunya disebabkan oleh gagalnya perum Bulog stabilkan harga. Padahal, sebagai lembaga yang ditunjuk negara memiliki izin impor 100 ribu ton white sugar ditambah impor raw sugar 267 ribu ton.
"Mestinya, kalau sudah gagal, pemerintah tidak lagi berikan penugasan impor gula kepada perum Bulog," ujar Soemitro dalam keterangan resminya, pada Selasa 7 Februari 2017.
Sekretaris Jenderal APTRI Nur Khabsin menambahkan, langkah pemerintah yang saat itu memberikan izin kepada Bulog untuk melakukan impor, ternyata juga berakibat buruk pada petani tebu. Sebab, janji pemberian kompensasi kepada petani berupa rendemen sebesar 8,5 persen tidak ditepati, dan akibat impor itu rendemennya tetap di angka 5-6 persen saja.
“Impor tersebut, selain mengakibatkan petani tebu merugi, juga tidak berpengaruh pada stabilisasi harga gula di tingkat eceran. Anehnya lagi, sebagian gula impor tersebut saat ini masih berada di gudang,” tambah Soemitro.
Untuk itu, DPN APTRI kembali mengingatkan para penegak hukum baik itu Polri maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera mengusut adanya dugaan pemberian Fee (uang tip) sebesar Rp1.000 per kilogram raw sugar impor yang diduga diberikan kepada oknum Bulog.
Selain kegagalan menstabilkan harga gula, DPN APTRI juga meminta pemerintah untuk mengevaluasi Bulog, terkait kebijakan pembelian pabrik gula PT Gendhis Multi Manis (PT GMM) oleh Perum Bulog pada September 2016.
Akuisisi perusahaan gula swasta di Blora, Jawa Tengah ini dinilai APTRI menimbulkan tanda tanya besar, di mana pada saat ini ada rencana penutupan 11 Pabrik Gula BUMN (sembilan di antaranya ada di Jawa Timur) sudah di depan mata, justru Bulog tidak mengambil alih Pabrik Gula tersebut, dan malah mengeluarkan keuangan untuk pembelian PT GMM.
“Hasil kajian Bahana Securitas menyimpulkan bahwa perusahaan tersebut tidak efisien. Tetapi, anehnya Bulog tetap ngotot membelinya. APTRI sudah menginformasikan juga temuan ini ke Indonesia Coruption Watch bulan lalu. Saat ini, masih dikaji,” ujar Soemitro. (asp)