Rumusan Aturan Bea Keluar Ekspor Konsentrat

Wilayah pertambangan terbuka Freeport di Timika, Papua.
Sumber :
  • ANTARA/Muhammad Adimaja

VIVA.co.id – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan, telah mengusulkan besaran bea keluar kepada Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, bagi perusahaan tambang yang berstatus Izin Usaha Pertambangan dan IUP Khusus maksimal 10 persen.

Lantas, bagaimana bendahara negara merumuskan aturan tersebut?

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, memastikan, pengenaan bea keluar bagi setiap perusahaan tambang tidak akan melebihi usulan yang sudah diberikan ESDM sebesar 10 persen. Proses diskusi, hingga saat ini masih berlangsung.

“Kami sudah mulai diskusi. Tetapi artinya, (pengenaan bea keluar) bisa 10 persen, bisa di bawah itu,” kata Suahasil saat ditemui di gedung parlemen, Jakarta, Rabu 18 Januari 2017.

Suahasil menjelaskan, hingga saat ini pemerintah masih menentukan layer apa yang akan dipergunakan untuk mengenakan bea keluar terhadap perusahaan tambang. Sejatinya, kata dia, aturan ini pun sudah diberlakukan oleh pemerintah dalam aturan yang lama.

Dalam ketentuan lama, ada tiga lapis tarif bea keluar yang ditetapkan oleh pemerintah, tergantung dari kemajuan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter. Dalam aturan lama, tarif bea keluar yang diberikan maksimal 7,5 persen.

“Kalau kemajuan fisik (smelter) 0-7,5 persen, dia dikenakan bea keluar 7,5 persen. Kalau kemajuan smelter 7,5-30 persen, maka dia dikenakan bea keluar lima persen. Kalau di atas 30 persen, maka dia bebas bea keluarnya,” katanya.

Hingga saat ini, Kemenkeu bersama Kementerian ESDM masih menggodok layer yang pas untuk perusahaan tambang berstatus IUP maupun IUP Khusus. Intinya, pengenaan tarif bea keluar akan sejalan dengan kemajuan perusahaan tambang membangun smelter.

“Kami mencari layer apa yang paling efektif, yang bisa mendorong secepat mungkin proses pemurnian itu bisa berjalan,” ujarnya. (art)