Indef Sebut Kebijakan Perdagangan RI Terlalu Liberal

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi

VIVA.co.id – Institute Development for Economic and Finance atau Indef memandang, kinerja ekspor-impor sepanjang 2016 memprihatinkan. Sebab, peningkatan impor yang terus meningkat tidak diimbangi dengan pengendalian yang tepat.

Menurut ekonom Indef, Ahmad Heri Firdaus, banyak barang impor yang cenderung merupakan barang konsumsi ini lantaran pemerintah tidak memiliki instrumen yang ketat dalam menangani pengaturan impor.

"Mudahnya barang impor konsumsi itu akibat minimnya hambatan non tarif yang diterapkan. Kita justru yang paling liberal," ujar Heri di kantornya, Kamis, 29 Desember 2016.

Heri menilai, kondisi ini mencerminkan pasar Indonesia menjadi semakin liberal dan terbuka. Namun sayangnya, produk-produk dalam negeri malah kesulitan bersaing di pasar global, sehingga berdampak membanjirnya barang-barang impor.

"Ternyata, tingginya impor barang konsumsi Indonesia terjadi akibat minimnya hambatan non tarif itu yang membuktikan pasar kita semakin liberal. Bahkan, lebih liberal dibanding Amerika Serikat," tuturnya. 

Sementara itu, di sisi lain, kata dia, dengan daya saing perdagangan yang terus melemah, maka laju ekspor itu terus mencapai titik nadir atau titik terendah dalam beberapa tahun ini.

"Hal itu memang karena global melambat yang menyebabkan industri kita mengalami kontraksi. Tapi di saat yang sama, pemerintah juga lambat dalam mencari potensi pasar baru. Sekarang baru kita merasakan dampaknya," tuturnya.

Selama ini, Heri membandingkan, di negara lain justru menerapkan hambatan perdagangan non tarif yang semakin proteksionis, sekalipun itu negara maju yang menggunakan slogan pasar bebas.

Jika dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS), memang saat ini neraca perdagangan surplus. Tapi dengan derasnya impor, terutama dari barang konsumsi membuat surplus yang terjadi tidak sehat.

"Tahun depan jangan ada lagi kondisi seperti ini (surplus yang tak sehat). Pemerintah harus memperbanyak kebijakan hambatan perdagangan non-tarif, tapi dibarengi dengan data yang kuat. Dan kebijakan itu mestinya jangan sampai mudah dibuat partner kita di WTO," tuturnya.