Kamilia Andini, Suarakan Isu Perempuan Lewat Film

Kamilia Andini
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Bimo Aria

VIVA.co.id – Lahir, tinggal dan tumbuh di keluarga yang menggeluti dunia film, seolah menuntun dan membentuk Kamila Andini. Wanita itu kini menjadi salah satu sutradara perempuan yang juga sangat vokal berbicara tentang isu-isu perempuan lewat film besutannya.

Sebut saja sebuah film, 'Sendiri Diana Sendiri' hingga 'Memoria', karya terakhirnya yang bercerita tentang kasus kekerasan seksual pada perempuan di masa Timor Leste memisahkan diri dari Indonesia.

Ditemui VIVA.co.id saat penayangan karyanya yang berjudul 'Memoria' di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, beberapa waktu lalu, anak dari sutradara Garin Nugroho ini menceritakan perjalanannya sebagai seorang sutradara yang menyuarakan kisah perempuan.

"Kalau pengaruh, pasti saya hidup di dunia film jadi tentu saja pengaruh saya seperti udara. Tapi kenapa pengen bikin film. Saya mencoba banyak hal sih sebenarnya, (mulai dari) fotografi, musik, tari, semua bidang seni saya suka dan semua saya coba," kata Dini, di Grand Indonesia, beberapa waktu lalu.

"Tapi kenapa saya coba film karena setiap saya melakukan yang lain itu selalu ada ujungnya, selalu tiba-tiba semakin lama semakin berat tapi kalau film semakin ke sini semakin menarik."

Meski mengaku ada sedikit pengaruh dari sang ayah Garin Nugroho yang merupakan salah satu sutradara kenamaan Indonesia, Dini mengatakan bahwa dia tidak pernah belajar secara langsung kepada sang ayah. Menurutnya, dalam membuat film, semua mengalir dengan sendirinya.

"Saya film maker yang organik jadi yang ngalir saja mengikuti apa yang saya rasakan sebagai pencipta. Begitu juga dengan film, saya tidak pernah mengkonsepkan film maker yang seperti apa dengan gaya seperti apa dan yang lain-lain semua mengalir ya, saya yakin saya akan menemukan gaya sendiri semakin lama semakin saya membuat film, saya banyak berpraktik," tambah dia.

Baginya membuat film dengan tema utama yang mengangkat karakter perempuan, selalu membawa emosi tersendiri. Hal ini tentu saja karena ia juga seorang perempuan, yang artinya hal-hal yang dibuatnya dalam film sangat mungkin terjadi.

Seperti pengalamannya saat membuat film Memoria beberapa waktu lalu. Ia mengaku begitu emosional ketika mendengar cerita para perempuan korban kekerasan seksual yang terjadi di Timor Leste.

"Bukan emosional lagi tapi sangat emosional karena saya punya anak saya tidak membayangkan harus membesarkan anak-anak saya dalam kondisi yang seperti mereka alami. Tapi saat itu saya melihat ibu-ibu ini berbicara dan begitu kuatnya mereka harus menghadapi perang mengalami kekerasan seksual tapi juga harus tetap membesarkan anak-anak seperti seorang ibu," ungkapnya.

"Di situ saya yang di awal sempat takut, karena saya saat itu sedang hamil."

Datang ke desa kecil tempat para korban kekerasan seksual, membuatnya semakin yakin, untuk menyuarakan jeritan kepedihan mereka.

Dalam membuat film ia hanya mengatakan bahwa dia ingin memberikan suara dan juga warna tersendiri, untuk perempuan, yang di Indonesia sering terdiskriminasi.

"Banyak juga sutradara laki-laki yang mempunyai karakter perempuan dan bicara tentang perempuan tapi bagaimanapun menurut saya pasti punya warna yang berbeda, pasti punya sensitifitas yang berbeda juga jadi kalau saya tidak ada pesan tapi saya mencoba memberikan warna," kata dia.

Bergelut di dunia film alternatif memang membawa tantangan tersendiri bagi Dini. Selain tidak mendapat banyak kesempatan layaknya film komersil, juga dibutuhkan kejelian untuk membuat suatu film dengan isu yang penting agar lebih komunikatif.

Lebih jauh, sebagai sutradara perempuan sendiri, juga membawa tantangan baginya. Meski telah banyak sutradara perempuan yang juga sukses sebagai sutradara, masih banyak masyarakat yang menggangap industri film bukan tempat yang ramah untuk perempuan.

"Industri kita sangat terbuka dengan perempuan tapi bagaimanapun profesi sutradara itu bukan profesi yang mudah untuk seorang perempuan. Dalam kehidupan sosialnya kita bicara tentang jam kerja yang bisa sampai tengah malam bahkan sampai pagi. Belum lagi saat harus bekerja di wilayah yang tidak mudah," kata dia.

Beruntung, Dini memiliki keluarga dan juga suami yang memiliki dunia yang sama. Sehingga dukungan dan kesempatannya untuk mengembangkan kariernya sangat besar.

Memaknai hari Ibu sendiri, sebagai perempuan, Dini mengaku bukan tipikal orang yang rutin merayakannya. Baginya hari ibu ialah sebuah refleksi untuk dirinya tentang menjadi anak dan juga ibu yang baik untuk anaknya yang saat ini baru berusia beberapa bulan.

"Ini membuat saya bertanya lagi dan merefleksikan diri saya sendiri untuk memerankan peran-peran saya itu di wilayah sosial," ungkap dia.