Baru Satu Persen Energi Baru Terbarukan Digunakan RI
- ANTARA
VIVA.co.id – Besarnya jumlah penduduk dan tingkat konsumsi yang tinggi, mengancam kedaulatan energi Indonesia, jika tidak disikapi dengan bijak. Padahal, Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan, seperti angin, surya, atau panas bumi yang sangat berlimpah.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Sonny Keraf, dalam seminar energi di Institut Pertanian Bogor (IPB) menegaskan, pengembangan EBT menjadi keharusan, agar Indonesia dapat memenuhi kebutuhan energi. Tujuannya, agar mampu bertahan dan berdaulat.
"Konsekuensinya, kita harus mengutamakan EBT, ini sebuah keharusan. EBT harus dikembangkan secara serius dan prioritas,” tegas Sonny dikutip dari keterangannya, Rabu 14 Desember 2016.
Bekas menteri negara lingkungan hidup di era Abdurahman Wahid ini mengatakan, penggunaan EBT masih sangat rendah, sedangkan krisis energi fosil sudah di depan mata. Jika tidak ada terobosan berarti di sektor energi, bukan tidak mungkin pada 2025, Indonesia mengalami defisit energi, baik listrik, dan bahan bakar minyak secara signifikan.
“Secara konservatif, potensi EBT baru digunakan sebesar satu persen dari total 801,2 GW (gigawatt). Ke depan, impor energi harus dikurangi,” katanya.
Visi Indonesia mewujudkan ketahanan dan kedaulatan energi sebenarnya telah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Namun, EBT punya tantangan yang mesti mendapat perhatian dan keberanian dari pemangku kebijakan.
Sonny mengatakan, biaya pengelolaan EBT masih lebih mahal daripada energi fosil, karena pemerintah terlambat mengembangkannya. Teknologi juga masih harus impor, sehingga butuh persiapan, agar sumber daya manusia (SDM) berkompeten.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Litbang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sutijastoto berpendapat senada. Kini kecenderungan target lifting minyak bumi sering tidak tercapai, dengan begitu EBT menjadi harapan besar negara untuk segera dikembangkan.
“Yang bisa diharapkan adalah EBT, tetapi jika lihat perkembangannya, masih sulit. Panas bumi targetnya 5.000 MW (Megawatt), tetapi kenyataannya baru bertambah 300 MW. PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) harusnya 500-1000 MW, tetapi sekarang dapat 10 MW sudah bersyukur,” ungkapnya.
Selain itu, Ketua Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, Herman Darnel Ibrahim juga menilai, pengembangan EBT bukanlah tanpa tantangan. Beberapa faktor seperti nilai investasi, instrumen kebijakan tarif dasar, diversifikasi penggunaan bahan bakar, penguasaan teknologi, cadangan sumber energi lain masih menjadi cerita lama untuk diselesaikan.
Pembangkit nuklir jadi opsi terakhir
Lalu bagaimana dengan wacana mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia? Sonny menjelaskan, pemerintah melihat PLTN sebagai opsi terakhir dan bukan prioritas. Aspek tren harga menjadi salah satu pertimbangannya.
“Dalam kebijakan energi nasional kita, nuklir merupakan opsi terakhir ketika tidak ada lagi yang bisa dikembangkan. Tahun 2030-2040, harga tarif EBT akan semakin turun, tetapi tidak dengan harga listrik yang berasal dari PLTN,” ujarnya.
Herman punya pendapat yang sama. Mantan anggota DEN ini menyoroti aspek politik global dan keamanan terhadap pengembangan dan pengelolaan energi nuklir.
“Di dunia, PLTN tidak masuk energi terbarukan. Biaya investasi sangat mahal. Per MW 7-9 milliar dolar AS. Bangun 5.000 MW, uang Indonesia habis. Ada risiko kita diembargo dan terorisme, jika bangun PLTN. Artinya, kita harus kuat keamanannya dalam menjaga PLTN. Dalam kondisi perang, PLTN bisa jadi target utama,” ujarnya. (asp)