Dominasi Pertamina Garap Hulu Migas Masih Rendah

Anjungan Pertamina Hulu Energi 24 dioperasikan.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Zabur Karuru

VIVA.co.id – Pemberian keistimewaan kepada PT Pertamina, khususnya untuk mengeksplorasi sektor hulu minyak dan gas bumi nasional, dinilai tidak menyalahi konstitusi. Karena, Pertamina adalah Badan Usaha Milik Negara di sektor energi terintegrasi sebagai representasi negara. 

Selain itu, dominasi pengelolaan hulu migas oleh Pertamina sebagai national oil company (NOC) masih rendah dibandingkan dengan NOC negara lain yang porsi produksi domestiknya besar, seperti Brasil 81 persen, Aljazair 78 persen, Norwegia 58 persen, dan Malaysia 47 persen, sedangkan Pertamina sekitar 20 persen.

"Akan lebih bagus dalam revisi UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang diinisiasi oleh DPR, Pertamina diberikan semua privilege, tetapi tidak menjadikannya sebagai regulator. Namun, pemberian privilege itu harus diiringi dengan perbaikan tata kelola korporasi," ujar Anggota Komisi VII DPR, Satya W. Yudha dikutip dari keterangan resminya, Selasa 6 Desember 2016. 

Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 36 Tahun 2012, terdapat 14 pasal UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang inkonstitusional. Pertamina tidak berperan sebagai tuan di negara sendiri, sebagaimana berlaku bagi NOC negara lain yang porsi produksi domestiknya besar karena dominasi pengelolaan hulu migas oleh perseroan cukup rendah. 

Berlakunya UU No 22 Tahun 2001 membuat hak eksklusif BUMN mengelola migas dalam UU No 44 Prp/1960 dan UU No 8/ 1971 hilang. Pengelolaan migas beralih kepada kontraktor asing melalui Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang sekarang berganti nama menjadi SKK Migas.

Menurut Satya, dengan hak keistimewaan Pertamina sebagai NOC, perusahaan itu ke depannya dapat memiliki nilai lebih daripada saat ini. Contoh keistimewaan yang diberikan  antara lain, setiap kontrak yang akan habis, Pertamina diberikan first right of refusal. Bisa juga, semua blok-blok yang masih produktif diberikan ke Pertamina, sementara sisanya baru diberikan kepada kontraktor bagi hasil (poduction sharing contract/PSC) dengan yang lain. "Banyak cara untuk menjadikan Pertamina besar," katanya.

DPR, menurut Satya masih mendiskusikan revisi UU Migas. Salah satu klausul yang dimasukkan dalam evisi UU Migas adalah soal  tata kelola sektor hulu migas. "Ada kelompok yang menginginkan Pertamina seperti zaman dulu, operator sekaligus regulator. Kalau ini terjadi, kasihan Pertamina-nya," ungkapnya.
 
Seperti diketahui, hingga kuartal III 2016, kinerja finansial Pertamina tumbuh positif, naik 209 persen menjadi US$2,83 miliar dibandingkan periode sama tahun lalu senilai US$914 juta. Pencapaian kinerja keuangan Pertamina disokong peningkatan kinerja operasi dan efisiensi dari berbagai inisiatif dan langkah terobosan yang dilakukan perusahaan.

Dalam kesempatan berbeda, Anggota Dewan Energi Nasional, Syamsir Abduh mengaku mendukung, agar revisi UU Migas nanti dapat memperkuat posisi Pertamina sebagai NOC. Sebab, Pertamina juga harus menjadi representasi negara dalam penguasaan dan pengusahaan sumber daya migas.
 
"Percepatan penyelesaian RUU Migas akan memberi solusi komprehensif untuk menjawab persoalan migas dari hulu ke hilir dalam upaya mendukung kedaulatan energi," ujarnya.

Menurut Syamsir, peraturan pengganti UU (perpu) dapat menjadi solusi atas kedudukan SKK Migas yang belum jelas, bahkan berpotensi ilegal dan tentunya bisa membahayakan kelangsungan pengelolaan migas di tanah air.

Dalam Revisi UU Migas, Pertamina diusulkan menggantikan SKK Migas menjadi regulator, pengawas dan operator kegiatan usaha hulu migas di Tanah Air. Kewenangan perumusan kebijakan dan strategi tetap berada di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Perubahan kelembagaan SKK Migas dinilai lebih sesuai dengan amanat UUD 1945 dan Keputusan Mahkamah Konstitusi. (asp)