Mengenal Obat Malaria Murah Berteknologi Nano Buatan LIPI
- VIVA.co.id/Mitra Angelia
VIVA.co.id – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), melalui Pusat Penelitian Kimia tengah mengembangkan obat malaria yang berasal dari tanaman. Obat ini diklaim ampuh oleh LIPI sebab sudah terbukti dari tingkat kelarutan dalam tubuh lebih cepat sehingga mudah diserap oleh tubuh.
Peneliti Pusat Penelitian Kimia LIPI, Yenni Meliana yang mengerjakan proyek tersebut menjelaskan, tanaman yang digunakan yaitu Artemisia annua. Tanaman ini ditemukan endemik di Papua dan Kalimantan.
Meli mengatakan, pengobatan menggunakan Artemisia ini dikenal dengan Artemisin Based Combination (ACT). Pengobatan ACT sebenarnya pertama kali dikembangkan oleh Negeri Tirai Bambu, pada 2008. Atas pengembangan ACT, peneliti Tiongkok tersebut mendapat penghargaan Nobel.
"(Artemisia) asalnya dari China. Di China digunakan sebagai obat tradisional untuk malaria. Cuma mereka baru menemukan struktur antimalaria (dari Artemisia)," ujar Meli saat paparan penelitian di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa 29 November 2016.
Meli menjelaskan hal berbeda yang dikembangkan peneliti LIPI yaitu membuat pengobatan menggunakan Artemisia ini menjadi lebih murah dan optimal dalam menangani malaria.
"Caranya, dengan memperkecil ukuran kristal artemisinin ke dalam cakupan ukuran nano kristal sehingga mudah larut dalam air,” jelas Meli.
Selama ini, kata Meli, obat malaria dikonsumsi dengan cara dimakan. Tapi, dia menilai obat malaria akan lebih efektif bekerja apabila larut dalam air.
Meli mengatakan, selain mengembangkan pengobatan ACT makin mudah dan optimal, peneliti LIPI juga membuat pengobatan tersebut menjadi kian murah. Pada Artemisia lebih efektif menjadi antimalaria saat turunannya menjadi Dihydroartemisinin. Tapi untuk dijadikan Dihydroartemisinin, mesti memakai larutan yang harganya bisa mencapai Rp15 juta. Peneliti LIPI kemudian mengakali agar mendapat fungsi yang sama dengan harga yang sangat murah.
Untuk mendapatkan fungsi yang sama dengan Dihydroartemisinin, Meli dan rekan peneliti lainnya menggunakan senyawa matriks polimer untuk membuat kristal artemisinin menjadi nano.
"Matriks polimer harganya hanya Rp30 ribuan," ujar Meli.
Sederhananya, dari ekstrak Artemisia, kemudian dijadikan kristal artemisinin, lalu diubah menjadi ukuran nano kristal dengan bantuan matriks polimer. Maka jadilah fungsinya sama dengan Dihydroartemisinin.
Seharusnya setelah diubah menjadi kristal artemisinin, proses berikutnya ialah menjadikan Dihydroartemisinin. Tapi butuh biaya yang mahal hingga menjadi Dihydroartemisinin.
Kepala Pusat Penelitian Kimia Agus Haryono menambahkan, nantinya bentuk obat dikonsumsi ialah tablet. Tapi itu di bawah ranah Kemenkes.
LIPI hanya sampai menemukan teknologi yang efektif. Penelitian yang dimulai pada 2015 ini diharapkan selesai sampai tahun depan. Selanjutnya, LIPI bersama Kemenkes dan perusahaan obat swasta bakal membuat ACT dalam bentuk obat.
"Kita sudah sampai membuktikan dari kelarutannya," kata Agus.
Dia menuturkan, Artemisia menjadi tanaman pendamping utama untuk tanaman Kina yang selama ini digunakan sebagai obat anti malaria. Pemanfaatan Artemisia dikembangkan lantaran tanaman Kina sudah resisten dan tidak lagi efektif menjadi obat tunggal mengobati malaria.
"Jadi Artemisia dan Kina dicampur, nantinya dijadikan tablet," Agus menyimpulkan.
Bibit yang digunakan oleh LIPI saat ini untuk pengembangan obat antimalaria adalah hasil budidaya jaringan bibit Artemisia dari China. Agus beralasan belum menggunakan Artemisia endemik di Papua dan Kalimatan karena ukurannya yang tinggi menyebabkan kandungan artemisinin semakin rendah.
Sebaliknya, jika jenisnya tidak terlalu tinggi seperti yang endemik dari China maka artemisinin pun tinggi. Hasil budidaya jaringan bibit dari China dikembangkan di Kebun Raya Cibodas LIPI.