Pengamat Beberkan Kesalahan dalam Revisi PP 52/53
- XL
VIVA.co.id – Uji publik akan dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika terkait revisi PP 52 dan 53 terkait industri telekomunikasi. Namun sayang, uji publik yang hanya digelar sepekan itu mendapat banyak pertanyaan. Kemenkominfo dianggap mengerti kebijakan publik namun tidak memahami secara utuh.
Dipaparkan mantan komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Riant Nugroho, kebijakan publik seperti PP 52 dan 53 itu harus memenuhi kaidah transparan, akuntabilitas, dan good government.Jika Menkominfo tetap nekat memberlakukan dan menjalankan Revisi PP 52/53 tahun 2000, dipastikan Kominfo akan melanggar kaidah dalam UU, hukum dan kebijakkan publik. Sehingga akan mudah digugat di Mahkamah Agung.
"Kesalahan fatal pertama adalah Kominfo tidak melakukan konsultansi kepada para pakar teknologi dan komunikasi. Ini mutlak dibutuhkan agar di kemudian hari penerapan network sharing tidak mengalami kendala teknis. Setelah itu lalu membuat kajian mengenai cost and benefit analysis dari pemberlakukan network sharing.Tujuannya agar keuntungan dan kerugian secara finansial dapat diketahui sedini mungkin," ujar Riant, yang juga sekarang menjabat sebagai Director Institute for Policy Reform, dalam keterangannya, Selasa, 15 November 2016.
Sayangnya, menurut dia, hingga uji publik ini dilakukan, cost and benefit analysis dari network sharing tak pernah dibuka ke masyarakat umum.
"Pemerintah tidak memiliki hak untuk mengambil alih kepemilikian jaringan pelaku bisnis. Yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah memfasilitasi pelaku bisnis untuk dapat mensepakati skema business to business (B2B) dalam rencana network sharing. Bukan malah memaksa operator untuk melakukan network sharing," kata dia.
Dijelaskannya, Kominfo seharusnya meminta persetujuan dari seluruh pemilik jaringan mengenai rencana berbagi jaringan. Setelah mendapatkan persetujuan dari seluruh pemilik jaringan, baru Kominfo bisa melakukan uji publik.
Riant beranggapan pemaksaan pemberlakuan network sharing dan penetapan harga dapat dilakukan ketika jaringan tersebut dimiliki oleh publik atau dibangun oleh pemerintah melalui dana PSO (Public Service Obligation) atau USO (universal service obligation).
Kesalahan fatal lainnya dari pemerintah dalam revisi PP 53 tahun 2000 adalah Kominfo tidak mengajak bicara para penyelenggara telekomunikasi yang telah memegang izin penyelenggaraan telekomunikasi melalui frekuensi.
Riant mengatakan saat ini para penyelenggara jaringan telekomunikasi telah membangun jaringan, memenangkan lelang frekuwensi, membayar BHP frekuensi dan pajak. Sehingga ketika para penyelenggara ini telah melakukan kewajibannya, pemerintah harus bertindak adil dan tidak sewenang-wenang dalam membuat peraturan perundang-undangan.
Kesalahan fatal lainnya adalah pemberlakuan pasal 31A yang berlaku surut yaitu sejak diberlakukan UU Telekomunikasi. Menurut Riant, hukum, UU serta perundang-undangan yang diberlaku di Indonesia tidak bisa berlaku surut.
Sebelumnya Staf Ahli Desk Ketahanan dan Keamanan Cyber Nasional, Prakoso menganggap uji publik singkat yang dilakukan Kominfo sebagai formalitas. Bahkan Kominfo harusnya melakukan koordinasi dan konsultasi kepada Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Dalam nomenklatur kementrian Kabinet Kerja, Kominfo berada di bawah koordinasi kantor Menko Polhukam. Dengan demikian harusnya revisi PP 52/53 tahun 2000 dikoordinasikan kepada menteri koordinatornya.
“Hingga saat ini draft revisi PP 52/53 tahun 2000 belum masuk ke Kantor Menko Polhukam. Harusnya Kominfo melakukan konsolidasi, koordinasi dan konsultasi terlebih dahulu dengan Kantor Menko Polhukam,” papar Prakoso.