Profesi Hakim Harus Mendapat Perhatian Negara

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan
Sumber :

VIVA.co.id – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan menegaskan RUU Jabatan Hakim (JH) ini sebagai usulan Komisi III DPR RI sebagai Prolegnas 2016 dalam Prolegnas 2015-2019.

RUU ini juga sebagai amanat Pasal 25 UUD 1945 bahwa syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan UU. Karena itu profesi hakim harus mendapat perhatian negara untuk mempertegas kejelasan status hakim.

“Hakim merupakan jabatan yang memiliki tanggung jawab untuk menerima, memproses dan memutuskan perkara sampai tidak menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari. Bila hukumnya tidak jelas, tidak lengkap, atau bahkan tidak ada, maka hakim harus mencari hukumnya atau melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) untuk menuju kepada kepastian hukum,” kata Trimedya dalam seminar RUU Jabatan Hakim yang digelar Fraksi PPP DPR RI pada Rabu 26 Oktober 2016 bersama Wakil Ketua KY Sukma Violetta, Agung Sumanantha (Ketua PP IKAHi/Hakim Agung), dan Widada E (Dirjen PP Kemenkumham).

Trimedya yang juga Ketua Panja RUU JH menilai begitu besar dan pentingnya peran hakim dalam menegakkan hukum di Indonesia, maka profesi hakim haruslah mendapat perhatian dari negara. Namun, sangat disayangkan hingga saat ini belum ada UU yang secara khusus membahas mengenai jabatan hakim yang di dalamnya mengatur mengenai kejelasan status hakim apakah sebagai pejabat negara atau Aparatur Sipil Negara (ASN), pola pengangkatan dan pemberhentian hakim, jenjang karir, pengawasan hakim, promosi dan mutasi, dan penilaian kinerja, profesionalisme hakim.

Pasal-pasal krusial dalam RUU JH ini antara lain definisi hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung (MA), dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan (Pasal 1 ayat 1), dan mereka berkedudukan sebagai pejabat negara.

Selain itu mengenai jabatan hakim agung selama 5 tahun dan dapat menetapkan kembali dalam jabatan yang sama setiap 5 tahun berikutnya, setelah melalui evaluasi yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY). Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud disampaikan kepada DPR RI untuk mendapatkan persetujuan diangkat kembali menjadi hakim agung (Pasal 31).

Selanjutnya hakim dilarang merangkap jabatan sebagai pelaksana putusan pengadilan, wali atau pengampu dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diperiksa olehnya, penasihat hokum, politisi, dan pengusaha (pasal 35), dan itu diatur oleh peraturan pemerintah.

Pemberhentian bahwa hakim dapat diberhentikan secara hormat maupun secara tidak dengan hormat. Pemberhentian Karena meninggal dunia, atas permintaan maaf sendiri secara tertulis, telah berusia 60 tahun bagi hakim pertama, berusia 63 tahun bagi hakim tinggi, dan berusia 65 tahun bagi hakim agung.

“Juga karena sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama tiga bulan berturut-turut yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau tidak cakap dalam menjalankan tugasnya. Kedua, pemberhentian dengan secara tidak hormat adalah karena bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,” ujarnya.

Dengan demikian kata Trimedya, materi RUU JH ini sudah cukup mengatur dengan baik dan komprehensif mengenai RUU ini akan mampu menjadi landasan hokum untuk memperbaiki status dan manajemen para pengadil (hakim).

"Tujuan dari RUU ini untuk menjaga independensi, meningkatkan profesionalisme hakim dan kehormatan hakim dapat terwujud,” katanya.  (webtorial)