DPR Pertanyakan Kesiapan Pemerintah Soal Perjanjian Paris

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya W Yudha
Sumber :

VIVA.co.id – Anggota Komisi VII DPR RI Ramson Siagian mempertanyakan kesiapan pemerintah jika Perjanjian Paris tentang perubahan iklim diterapkan di republik ini.

“Bagaimana kesiapan masyarakat jika Perjanjian Paris itu akan dibuatkan undang-undang sebagai payung hukumnya?” tanya Ramson  saat diskusi di Media Center DPR RI, Jumat 14 Oktober 2016.

Sebagai contoh, lanjut Ramson, sebelum perjanjian tersebut dilaksanakan, republik ini harus mampu menukar bahan bakar berbasis fosil yang digunakan pada hampir semua sektor kehidupan.

“Untuk pembangkit listrik saja kita masih pakai batu bara yang berbasis fosil. Begitu juga dengan bahan bakar transportasi, kita masih menggunakan bbm (bahan bakar minyak),” lanjut Ramson.

Ramson mencontohkan Jepang sebagai negara yang telah siap melaksanakan perjanjian tersebut. Yang terjadi di Jepang tentunya sangat jauh berbeda apa yang ada di republik ini.

“Kalau di Tokyo itu seluruh kendaraan sudah memakai gas sebagai bahan bakar, tidak ada lagi yang pakai bbm. Kalau kita mau tentu harus ada konsekuensinya,” ujar Ramson.

Begitu pula dengan penjelasan secara masif kepada masyarakat. Ramson mengatakan bahwa seluruh rakyat republik ini harus tahu dengan jelas terlebih dahulu rencana tersebut sebelum benar-benar diterapkan.

“Kalau mau disahkan harus ada sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat. Karena mobil-mobil yang diatas 5 tahun sudah tidak boleh ada lagi. Masyarakat harus tahu itu,” ujar Ramson.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya W Yudha dalam kesempatan yang sama mengatakan bahwa rencana pemerintah menerapkan Perjanjian Paris merupakan rencana bagus. Sebab selama ini upaya perbaikan iklim yang ada selama ini belum berdampak maksimal.

“Ini berita bagus setelah ditandatanganinya Paris Agreement. Selama ini saya lihat masalah lingkungan hanya sebatas imbauan yang tidak mempunyai perangkat hukum yang cukup,” kata Satya.

Dalam kesempatan itu Satya membenarkan bahwa untuk implementasi perjanjian tersebut republik ini harus mengganti penggunaan energi dari yang ada selama ini.

“Semua dari perjanjian ini berbasis energi bersih. Pemerintah harus mengganti dari penggunaan energi kotor menjadi energi bersih, kalau dulu kan berbasis batu bara,” ujar Satya.

Sayangnya, hingga saat ini pembangunan yang mengedepankan lingkungan hidup belum terlihat dari anggaran pemerintah. Bahkan APBN yang setiap tahun dianggarkan pemerintah tidak sampai 5 persen untuk mewujudkan lingkungan berkualitas baik.

“Kalau melihat anggaran lingkungan di seluruh kementerian, kurang dari 5 persen dari anggaran. Artinya negara belum berpihak,” kata Satya.  (webtorial)