Polemik Revisi PP 52 dan 53 Telekomunikasi Terus Berlanjut

Petugas memperbaiki base transceiver station (BTS).
Sumber :
  • VIVA.co.id/Agus Tri Haryanto

VIVA.co.id – Revisi PP No.52 dan 53 tahun 2000, tentang telekomunikasi dan spektrum frekuensi radio/orbit satelit dituding sangat rentan disalahgunakan dan merugikan negara. Pemerintah diminta untuk berhati-hati melakukan perubahan aturan tersebut, apalagi operator telekomunikasi di Indonesia banyak yang dimiliki pihak asing.

Hal ini disampaikan Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi  (LPPMI), Kamilov Sagala. Dia mengingatkan, jika revisi PP tersebut dijalankan maka akan menyimpan potensi moral hazard, sekaligus bisa melancarkan praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di industri telekomunikasi.

“Kekhawatiran saya cukup beralasan. Jika revisi PP ini dijalankan, nilai birokrat dianggap bagian dari korporasi, sementara permainan korporasi dibawa ke birokrat. Oleh karena itu, sebaiknya dibuka draft dan konsultasi publik yang lebih transpran agar tak menjadi ghibah di kemudian hari," ujar Kamilov di Jakarta, Rabu, 12 Oktober 2016.

Kata Kamilov, meminjam istilah mantan Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli, kolaborasi Penguasa, Pengusaha (PengPeng). Ini disebutnya berbahaya karena berpotensi mengatur industri. 

Sama halnya dengan yang diungkap Direktur Eksekutif Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo dalam sebuah diskusi, kemarin. Menurut dia, akan muncul transfer pricing, atau praktik pengalihan biaya dari sebuah nilai barang atau jasa antara beberapa perusahaan dalam satu nama besar sehingga menggeser laba, yang harusnya masuk ke kas dalam negeri, dialihkan ke perusahaan induk asing.  Artinya, ada pergeseran laba ke luar negeri, sedangkan Indonesia tidak menikmati keuntungan.

Menurutnya, kebijakan yang dibuat Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) membuat ada  pemain yang diuntungkan dan dirugikan jika dijalankan. Pertama, jelas dia, biaya interkoneksi simetris berarti harga satu. Padahal Harga Pokok Produksi (HPP) operator itu beda. Bagi yang HPP rendah tentu dapat marjin, sedangkan HPP tinggi tak ada yang menanggung biayanya. 

"Kan harusnya dari biaya interkoneksi. Kedua, jika revisi, yang merupakan turunan dari Undang-undang telekomunikasi itu dijalankan, bisa memicu praktik monetisasi frekuensi di secondary market. Jika dilihat, yang untung banyak sebagian operator, tetapi paling rugi operator yang sudah banyak bangun dan negara karena potensi pajak hilang,” ulasnya. 

Diingatkannya, jika pun nanti terjadi profit yang bertambah dari penerapan network sharing tidak selalu meningkatkan penerimaan negara lewat pajak. Jika revisi itu resmi diberlakukan, maka hanya beberapa operator seluler yang menanggung keuntungan dari adanya network sharing. Sebagian besar keuntungan tersebut nantinya justru bakal mengalir ke kantong perusahaan induk mereka di luar Indonesia, sehingga kontradiktif terhadap upaya tax amnesty.

Diungkapkannya, dalam pencatatan keuangan di Indonesia salah satunya yang banyak diakali adalah Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Di Indonesia, penarikan pajak ini berlak hanya jika sebuah perusahaan mengalami keuntungan.

“Laba perusahaan bisa di-create, mau untung atau rugi. Kalau kita menganut pajak dikenakan atas omzetnya, itu gampang ngawasin-nya. Tapi, karena kita basisnya profit, profit bisa di-create dan tampaknya merugi. Ini harus cermat melihatnya," ungkapnya.