Toni Ruttiman dan Biaya Demurrage di Pelabuhan
VIVA.co.id – Belakangan, media ramai membicarakan Toni Ruttimann, seorang relawan asal Swiss yang sejak tiga tahun lalu mengajak warga kampung wilayah terpencil di Indonesia untuk bergotong-royong membangun jembatan gantung secara swadaya. Seperti dikutip dari sebuah postingan media sosial milik Imam B. Prasojo, diketahui bahwa proyek sosial Ruttiman akhir-akhir ini terhambat setelah terbentur perizinan dan membengkaknya biaya pemakaian peti kemas atau demurrage.
Menurut Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Bea Cukai Robert Leonard Marbun, Bea Cukai selalu memprioritaskan kelancaran arus impor barang, apalagi terhadap barang bantuan. Barang bantuan tersebut merupakan wirerope untuk pembangunan jembatan akses desa.
“Untuk importasi wirerope, sebenarnya Toni Ruttimann sudah melakukan beberapa kali yaitu tahun 2011, 2012, 2014 dan tahun 2016 yang kesemuanya mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk dan pajak impor dari Bea Cukai. Yang saat ini sedang hangat diberitakan adalah importasi yang terakhir yang datang pada tanggal 15 Juli 2016 karena adanya kendala perizinan kelaikan barang dan perizinan impor dari instansi terkait,” ujar Robert.
"Keterlambatan pengurusan perizinan juga disebabkan karena adanya pergantian pejabat pada instansi terkait sehingga pengurusan dokumen yang selama ini lancar agak tersendat," ujar Imam B. Prasodjo, akademisi Universitas Indonesia. Padahal selama tiga tahun ini Toni Ruttiman dan petugas instansi terkait selalu bekerja sama berkoordinasi dengan baik atas dasar nota kesepahaman yang telah disepakati bersama. Semua prosedur izin kelaikan barang dilakukan dengan mengikuti seluruh ketentuan yang berlaku dengan maksud untuk meyakinkan keamanan agar ketika barang tersebut dipakai untuk jembatan tidak berbahaya bagi masyarakat. Ini penting dilakukan karena ada sebagian komponen barang, walau pun memiliki kualitas sangat baik, tetapi bukan barang baru. Sedangkan komponen lain, adalah barang baru yang berkualitas sangat baik.
Selain langkah ini, proses kehati-hatian juga dilakukan agar izin impor yang dimaksud tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung-jawab. Bea Cukai ikut memperlancar peoses ini dengan ikut mendorong kelancaran proses pengeluaran barang sambil menunggu terbitnya kedua perizinan yang diterbitkan oleh kementerian teknis terkait.
“Prinsipnya Bea Cukai pasti segera mengeluarkan barang apabila perizinan sudah lengkap. Bea Cukai selalu proaktif melakukan koordinasi dengan instansi terkait dan untuk proses clearance jembatan tersebut di Bea Cukai hanya perlu satu hari setelah izin keluar,” jelas Robert.
Disadari bahwa importasi yang terakhir ini ternyata ada memang kendala keterlambatan dalam perizinan sebagaimana disebutkan, maka barang sumbangan tersebut menjadi tertahan di pelabuhan selama hampir dua bulan. Akibatnya timbul biaya demurrage sebesar Rp195.650.000. Apa itu demurrage? Demurrage adalah biaya yang dikenakan oleh perusahaan pelayaran terhadap pemilik barang atas penggunaan peti kemas yang melebihi batas waktu di pelabuhan. Dengan kata lain demurrage tersebut bukan biaya yang harus dibayarkan kepada pemerintah, tetapi kepada perusahaan pelayaran.
Kini, proses pengeluaran barang dapat dilakukan. “Kami sangat berterima kasih kepada Bea Cukai karena sudah banyak membantu dalam melancarkan pengurusan dokumen impor, proses pembebasan bea masuk dan pajak impor, bahkan berkat bantuan Bea Cukai biaya storage tiga kontainer donasi wirerope untuk program bantuan jembatan gantung Toni Ruttimann di Indonesia juga dibebaskan,” ujar Imam B. Prasodjo.
Bahkan menurut Imam, pihak Kementerian PUPR telah menyatakan akan mengganti biaya demurrage dan biaya lain yang harus dibayar akibat keterlambatan ini. Semua pihak berharap kerjasama yang telah berlangsung 3 tahun ini dapat kembali berjalan lancar dan dilanjutkan upaya baik ini tanpa perlu ada kendala di masa depan. (webtorial)