Bisnis Promotor Musik, Untung atau Buntung?

Justin Bieber.
Sumber :
  • REUTERS/Stringer

VIVA.co.id – Ribuan pasang mata menatap ke arah seorang pria paruh baya di atas panggung. Malam itu, di salah satu ajang musik terbesar di Tanah Air, Java Jazz 2016, David Foster membawa penonton larut dalam dentingan pianonya.

Tembang Hard To Say I am Sorry mengalun merdu. Di belakangnya menggema kor penonton melantunkan lagu hit milik band Chicago di mana David Foster bertindak sebagai produser kala itu.

Di usianya yang menginjak 66 tahun, David masih terlihat bugar. Jas yang membalutnya membuat pria asal Kanada tersebut makin menawan.

Penampilan sang maestro di Java Jazz 2016 adalah kali keempat pria pemilik nama lengkap David Walter Foster itu hadir di Indonesia. Kehadiran David Foster ini membuktikan musisi mancanegara pun ingin tampil di depan penggemarnya di Indonesia.

Sebaliknya, para penggemar juga rela mengeluarkan uang yang tak sedikit demi melihat penampilan sang idola. Di balik itu semua, promotor yang mempertemukan sang penggemar dan musisi ini pun lega.

Kerja keras ‘merayu’ para musisi dunia untuk menyambangi Indonesia, terbayar dengan tiket konser yang ludes dan respons positif dari penonton serta musisi itu sendiri.

Menelisik lebih jauh, bisnis promotor konser musik memang ibarat pertaruhan. Jika gagal, berujung rugi besar. Namun jika sukses maka keuntungan yang diraih.

Bagi CEO Berlian Entertainment Dino Hamid, konser musik diyakini masih menjadi bisnis yang menggiurkan alias menguntungkan. "15 sampai 30 persen keuntungannya," ucapnya.

Saat ini, kata dia, pencinta musik barat di Indonesia masih terbilang tinggi. Bahkan harga tiket konser yang dipatok tinggi tak lantas menyurutkan antusias penonton. 

"Kalau saya lihat secara industri, bisnis konser dan pertunjukan semakin berkualitas. Pencintanya akan rela antre untuk melihatnya," ujar Dino.

Meski demikian, Dino mengakui bahwa bisnis promotor musik di Indonesia sangat dinamis. Bagi yang tak punya inovasi lambat laun akan tergusur. Oleh karena itu, ujarnya, promotor musik harus memiliki visi yang kuat.

"Ada yang hilang karena tidak mempunyai visi yang kuat terhadap industri pertunjukan itu sendiri," ucap Dino.

Berlian Entertainment yang sukses membawa musisi sekelas David Foster, Justin Bieber, dan Janet Jackson mengatakan, persaingan bisnis konser musik di tahun mendatang semakin sengit. Dino menyebut, strategi setiap promotor akan selalu berbeda dalam merebut hati artis dan band luar negeri serta menarik calon penontonnya.

"Masing-masing promotor punya konsep yang berbeda. Kalau Berlian Entertainment punya positioning di experience. Kedua, di kampanye," katanya.

Mengejar musisi

Sementara itu membawa seorang musisi naik ke atas panggung, menurut Dino, bukan perkara mudah. Ia pun memiliki resep tersendiri. Selain melihat jadwal manggung sang musisi, mengejar kepastian sang artis terus-menerus kerap dilakukannya.

"Biasanya selalu berkomunikasi dengan pihak official agent yang memegang artis. Pada saat itu apakah artis itu akan melakukan tur apa tidak. Bila iya, kita akan melakukan offering ke pihak mereka untuk melakukan show di Indonesia," ujar Dino.

Sembari menunggu kepastian, promotor mulai menyusun biaya untuk mendatangkan sang musisi. Di sini pihak promotor harus jeli agar tidak sampai menelan kerugian.

"Melalui beberapa tahapan (bujet, treatment produksi, promosi) akhirnya bisa diputuskan apakah artis tersebut mau melakukan show di Indonesia atau tidak," ucapnya.

Tantangan promotor tak hanya sampai di situ. Ada saja musisi yang mengajukan permintaan ‘aneh’ dan di luar ekspektasi. Hal ini berarti akan ada penambahan biaya.

"Contoh pengalaman dari kami, harus menyediakan tiga kamar penthouse dalam posisi stand by, untuk artisnya yang menentukan mau stay di mana. Setelah dipilih satu kamar, dua kamar sisa tidak terpakai dan secara cost pastinya akan terbuang," kata promotor muda ini.

Salah satu pengalaman yang akan selalu diingat Dino adalah saat mendatangkan penyanyi muda berbakat Justin Bieber. Saat itu Justin menggelar konsernya di Sentul International Convention Center, Bogor, dan sukses menyedot ribuan penonton.

"Paling susah itu ya kalau permintaannya mahal. Paling susah itu Justin Bieber, dia mintanya dua hotel. Jadi kalau fansnya tahu dia tinggal di hotel satu, dia bisa pindah ke hotel satunya lagi, satu hotel untuk cadangan. Dia minta yang paling aman," ucap Dino.

Meski demikian selama Berlian Entertainment berdiri, tak ada artis mancanegara yang mendadak membatalkan konsernya. Dino menyebut artis yang diundangnya selalu bisa hadir.memanjakan penggemarnya di Indonesia.

Soal perizinan pun, pihak Berlian tak pernah kesulitan. Secara matang, Dino dan timnya merancang serta menyusun segala bentuk keamanan konser sang artis.

"Kita berusaha menjadi tim yang profesional dan mengerti apa yang mereka (artis) inginkan. Untuk perizinannya sendiri aman, karena saat mereka (artis) datang itu kan untuk mempromosikan Indonesia juga," ujar Dino.

Siap merugi

Setiap pertunjukan ada yang sukses, ada yang tidak. Di sinilah, promotor musik harus siap merugi. Seperti yang dialami oleh promotor Rajawali yang sempat mengalami kerugian besar saat menggelar pertunjukan Drama Musikal Laskar Pelangi di tahun 2012.

Anas Syahru Alimi, promotor dari Rajawali mengatakan saat itu pertunjukan yang diharap memberikan profit (keuntungan) justru malah ditinggal sponsor. Anas pun harus menerima kenyataan.

"Ya promotor juga harus siap kalau rugi. Seperti saat itu Laskar Pelangi di Yogyakarta, sponsor mundur, hitungan produksi kami meleset. Rugi besar bagi saya," ucap Anas. 

Anas menyebut saat itu kerugian sampai miliaran rupiah. Tak main-main tiket yang disediakan saat itu sampai 13.000 untuk penonton. "Karena salah hitung produksi. Saya belajar dari kesalahan itu," ucapnya.

Tak hanya menguras tabungannya, Anas sampai menjual tiga mobil mewahnya untuk menutup biaya produksi. "Salah satunya Alphard. Tapi apa boleh buat, pertunjukan harus tetap jalan," ucap Anas.

Namun Anas tak mau larut dalam keterpurukan. Perlahan tapi pasti Anas masih dengan Rajawalinya menggelar konser sejumlah artis luar ternama. Sebut saja nama musisi beken Rick Price, lalu Michael Learns to Rock (MLTR), dan  Air Supply. Kemudian konser yang sangat menguntungkan adalah Pentatonix, grup akapela  asal Texas, Amerika Serikat.

"Pentatonix untung di atas 100 persen. Datangkan artis murah. Itu jackpot tiba-tiba dia menang Grammy Award," katanya.

Terlepas dari untung dan rugi bisnis konser musik, bagi Anas yang perlu dipersiapkan oleh promotor musik saat ini adalah konsep yang matang. "Pertama kalau jual konsep harus bagus," ucap Anas.

Anas menekankan faktor sponsor adalah bagian penting dalam menggelar konser musik. Menurut Anas, promotor tak hanya mengandalkan dari penjualan tiket saja.

"Sponsor penting. Enggak hanya andalkan dari tiket ya, karena pasti mahal. Imbasnya orang enggak bisa beli," ujar dia.

Anas pun menggambarkan jika ingin menonjolkan konsep yang bagus, promotor harus siap dengan biaya produksi yang tinggi. "Kalau konsep idealis saya dahulu, konsep bagus, sponsor belakangan. Tapi ada juga yang tanpa sponsor untung juga ada, tapi jarang," ucap Anas.

Indonesia masih jadi lahan subur

Pengamat musik Tanah Air, Bens Leo mengatakan Indonesia masih menjadi lahan subur bagi banyak promotor untuk mendatangkan artis dan penyanyi mancanegara. Pangsa pasar di Indonesia masih banyak.

"Masih bagus untuk tahun ini. Konser musik di Indonesia masih banyak penontonnya," ucap pria yang akrab disapa Om Bens itu.

Meski tahun 2016 ini tak seramai pagelaran konser musik di tahun 2015, namun Indonesia masih lebih baik dari negara lain di Asia Tenggara. Bens menyebut manajemen artis internasional selalu menganggap Indonesia sebagai negara tujuan konser mereka.

"Sudah lebih 10 tahun, Indonesia masuk list negara tujuan artis dunia untuk manggung," ucap Bens.

Indonesia adalah negara kedua setelah Jepang. "Jadi kalau tidak konser di Indonesia, mereka para artis dunia jadi merasa rugi," ucap Bens.

Disebutkan Bens, meski sempat diganggu dengan berbagai isu sensitif soal keamanan dan teroris, Indonesia masih jadi incaran para artis dunia untuk eksis lewat konser mereka, baik promo album atau tur dunia.

"Karena jumlah penduduknya lebih dari 250 juta. Apresiasi musiknya terbagus, standar keamanannya oke, fasilitas alat buat konser seperti sound dan venue konser besar," ucap Bens.

Sebut saja sejumlah musisi dunia seperti David Foster dan Metallica  tak puas sekali untuk tampil di Indonesia. "David Foster saja sampai empat kali main di Jakarta seperti terakhir di Java Jazz 2016. Lalu Metallica main sampai dua kali," ucap Bens.

Namun, konser musik yang digelar di Indonesia diakui Bens tidak selalu bisa berjalan mulus, sukses serta menguntungkan. Promotor harus siap merugi juga.

Bens mencontohkan konser Lady Gaga yang gagal digelar di tahun 2012 oleh sebuah promotor musik besar. Saat itu kelompok organisasi tertentu menolak rencana konser sang Mother Monster.

"Seperti Lady Gaga yang gagal manggung dengan alasan ditolak oleh sebuah kelompok. Padahal tiketnya sold out," ujarnya.

Bens mengatakan gagalnya konser Lady Gaga saat itu menjadi preseden buruk bagi dunia musik di Tanah Air apalagi media internasional juga turut memberitakan. Promotor merugi, penonton juga tak bisa menikmati konser Lady Gaga yang saat itu digadang-gadang menjadi bakal menjadi konser terbesar di Tanah Air.

"Promotor akan kapok bikin konser keren jika diganggu kayak kasus Lady Gaga. Pasti rugi sekali," ucap katanya.