BRTI Lupa Bahas Dua Isu Penting di Industri Telekomunikasi

Ilustrasi pengguna menelpon
Sumber :
  • telkomsel

VIVA.co.id – Komisi Pengawasan Persaingan Usaha mengkritisi Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia  luput membahas dua isu besar kepada operator telekomunikasi. Padahal, pemerintah tengah berupaya untuk mengefisiensi industri telekomunikasi, salah satunya dengan network sharing (berbagi jaringan).

Pemerintah dalam hal ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika berencana untuk mengatasi persoalan pembangunan infrastruktur. Langkah itu dilakukan lantaran, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) diyakini sebagai penyumbang defisit neraca perdagangan kedua terbesar hingga US$6 miliar setelah sektor Migas.

Maka dari itu, melalui kebijakan yang dilahirkan, Kominfo ingin mendorong efisiensi industri, salah satunya dengan network sharing di antara operator telekomunikasi.

"Apakah pemerintah juga membahas mekanisme kompensasi bagi operator yang sudah membangun jaringan lebih luas. Setelah ini berlangsung, pertanyaan saya yang saya enggak tahu, karena saya tanyakan ke BRTI, BRTI enggak bisa jawab mengenai mekanisme kompensasi di kemudian hari," ujar komisioner KPPU, Muhammad Nawir Messi, ditemui di Jakarta, Kamis 15 September 2016.

Selain itu, kata Nawir, karena di industri telekomunikasi Indonesia memunculkan adanya operator dominan, maka cara untuk network sharing belum tepat dilakukan. Sebab, untuk mencapai langkah efisiensi industri itu harus semua sama rata atau level playing field.

"Sebab untuk masuk ke network sharing harus level playing field dulu. Kalau tidak ada, maka muncul unfair competition," ungkapnya.

Kemudian, isu kedua yang luput dari pembahasan BRTI ketika ditanya oleh KPPU adalah tidak menyentuh persoalan off net atau panggilan lintas operator. KPPU menilai, pengenaan biaya yang dibebankan oleh operator kepada pelanggan masih terlalu besar bila dilihat dari biaya interkoneksi antar operator.

"Misalnya kita melakukan panggilan dari operator A ke operator B. Nah, biaya interkoneksi sekarang kan Rp250 per menit, apakah itu langsung dibebankan ke pelanggan? tidak. Operator malah membebani pelanggan lebih mahal lagi hingga delapan kali lipat kan yang paling mahal, sekitar Rp2 ribu-an. Itu sumber inefisiensi di level konsumer," tuturnya.

Nawir memandang inefisiensi level konsumer tersebut yang tidak pernah disentuh oleh BRTI dengan para operator telekomunikasi. Bahkan, kata dia, persoalan tersebut tidak dibahas dalam PP Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.

Untuk itu, Nawir mengatakan, seharusnya ada kesepakatan batas atas yang bisa diambil oleh operator telekomunikasi ketika pelanggan melakukan panggilan ke operator lainnya.

"Kalau dibenahi, dibikin regulasinya, cita-cita pemerintah untuk mendorong efisiensi tingkat konsumer atau ritel itu susah terjadi. Kalau turun misalnya Rp100, kan keleluasaan bagi operator dengan charge seenaknya saja. Jadi, harus ada batasnya," ucapnya.