Tentang Haji Achmad Bakrie

Sumber :

VIVAnews - Minat terhadap dunia usaha sudah ia tunjukkan sejak remaja. Pada usia 20 tahun, Achmad Bakrie memulainya dengan menjadi seorang pedagang perantara untuk karet, lada dan kopi di daerah kelahirannya Kalianda, Lampung. Ia lalu bekerja pada NV Van Gorkom, sebuah perusahaan dagang Belanda. Sebagai penjaja keliling, ia menjelajahi hampir seluruh pelosok Sumatera Selatan. "Disini saya memperoleh pengalaman dan pengetahuan tentang (kebutuhan akan) barang-barang dan organisasi perusahaan, kata Bakrie, suatu ketika.

Merasa cukup dengan pengalaman sebagai pegawai pada 1941, Bakrie meninggalkan Van Gorkom. Ia kembali menekuni perdagangan karet, lada dan kompi. Labanya ia tabung sedikit demi sedikit. Setahun kemudian, tepatnya pada 10 Februari 1942, ia mendidikan Bakrie & Brothers General Merchant and Commision Agent di Teluk Betung, Lampung.

Semasa pendudukan Jepang, nama Bakrie & Brothers tidak boleh digunakan karena berbau Barat. Bakrie kemudian memindahkan perusahaannya ke Jakarta pada tahun 1943. Di sini ia melanjutkan usahanya dengan menggunakan Jasuma Ahokai. Begitu Jepang takluk, nama awal perusahaan itu dimunculkan kembali.

Pada 1952, Bakrie mulai beranjak dari pedagang antar daerah menjadi pedagang antar negara. Ia merintisnya dengan mengekspor karet, lada dan kopi ke Singapura. Hal ini membuatnya menjadi salah satu ekportir pionir dari kalangan pengusaha pribumi.

Dari usaha perdagangan, pria kelahiran Kalianda, Lampung, 1 Juni 1916 ini merambah dunia industri. Ia memulainya pada 1957 dengan membeli sebuah pabrik kawat dan kemudian memperluas bisnisnya dengan mendirikan pabrik pipa baja, pabrik cor logam dan pabrik karet remah (crumb rubber).

Sampai dengan Bakrie tutup usia pada 15 Februari 1988 di Tokyo, ia telah berhasil mendirikan satu kerajaan bisnis terkemuka di Indonesia, PT Bakrie & Brothers Tbk. Kerajaan bisnis ini telah berkembang ke berbagai bidang usaha seperti telekomunikasi, properti, industri pipa, pertambangan, investasi, serta bisnis lainnya. Perusahaan yang kini telah menjadi perusahaan publik tersebut memiliki lebih dari 3000 karyawan yang tersebar di berbagai lokasi di Indonesia.

Achmad Bakrie menikah dengan Roosniah Bakrie, wanita bermarga Nasution. pasangan tersebut dikaruniai empat orang anak, yakni Aburizal Bakrie, Roomania Kusmulyono, Nirwan Dermawan Bakrie dan Indra Usmansyah Bakrie. Setelah meninggalnya Bakrie senior, panji Bakrie di dunia usaha dipanggul oleh Aburizal Bakrie serta adik-adiknya. (Aburizal sendiri telah mengundurkan diri sebagai pimpinan perusahaan sejak pertengahan 2004, yakni sejak dia menjabat sebagai Menteri Koordinator dalam kabinet Indonesia Bersatu Presiden Susiolo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Yusuf Kalla.)

Sebagaimana yang diceritakan Aburizal, muara dari keberhasilan usaha dan keuntungan finansial, menurut Achmad Bakrie adalah digunakannya hal-hal tersebut untuk kepentingan sosial. "Uang bukanlah tujuan hidup, melainkan sekedar alat untuk menyenangkan orang banyak," ungkap Bakrie senior.

Sebagai salah satu wujud komitmennya terhadap masyarakat, pada 1981 ia mendirikan Yayasan Achmad Bakrie. Bakrie beserta istri dan keempat anaknya tercatat sebagai pendiri yayasan yang bertujuan membantu biaya pendidikan anak-anak yang cukup pandai namun kurang mampu itu. Yayasan yang ketika hanya bermodalkan uang Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) tersebut, hingga kini telah membantu ribuan siswa sekolah menengah maupun mahasiswa dari jurusan ekonomi dan bisnis. Bahkan sejak 2004, Beasiswa Achmad Bakrie juga telah mulai diberikan kepada pelajar-pelajar Indonesia yang berprestasi Internasional. Inilah salah satu wujud kepedulian sosial dan kecintaan Bakrie terhadap ilmu pengetahuan. Ia selalu menekankan pentingnya menuntut ilmu.

Perjalanan hidup Bakrie muda punya andil besar terhadap pembentukan sikap yang seperti itu.

Achmad Bakrie yang terlahir dari keluarga petani kecil itu hanya mengenyam pendidikan setingkat Sekolah Dasar. Namun tekad putra dari H. Osman Batin Timbangan ini sangat besar untuk menimba ilmu. Di sela-sela kesibukannya sebagai pegawai di NV Van Gorkom, ia rela menyisihkan waktu luangnya untuk bersekolah dagang di Hendles Institute Schoevers (1937-1939).

Sepanjang perjalanan hidupnya, Bakrie tak lepas dari kegiatan memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan. Dalam setiap kesempatan, apakah di perjalanan, saat menunggu atau di waktu senggang, membaca adalah kegiatan utamanya. Buku-buku sejarah, sastra, ekonomi maupun berita terkini menjadi temannya sehari-hari. "Saya paling kesal kalau tidak bisa membaca," kata Bakrie suatu ketika.

Ia percaya, pengetahuan yang luas membuat orang semakin mandiri dan percaya diri. Bagi Bakrie, berilmu adalah memerdekakan diri. Dan seseorang yang lebih pintar harus dihormati. Bakrie yakin betul dengan kutipan yang disimpannya.

Freedom makes opportunities,
Opportunities makes hope,
Hope makes life and future.


Kepercayaan dan penghargaan Bakrie terhadap kekuatan ilmu pengetahuan dan orang yang berpengetahuan menyatu dengan caranya menyikapi keberhasilannya sebgai seorang pengusaha. Hal ini selaras dengan kata bijak yang ia sukai: One cannot help the poor by discouraging the rich.

Komitmen Bakrie senior terhadap dunia pengetahuan kini diteruskan oleh Aburizal Bakrie. Pada Desember 2001, Aburizal mendirikan yayasan Freedom Institute yang salah satu kegiatannya adalah memberikan penghargaan Achmad Bakrie untuk bidang kesusastraan dan pemikiran sosial-budaya suatu penghargaan tahunan yang pertama kali dimulai pada 2003 dan yang kemudian berkembang untuk mencakup pula bidang kedokteran (sejak 1005), sains dan teknologi (sejak 2007).