12-09-1999: Pasukan PBB Diizinkan Masuk Timor Timur

Pasukan Interfet di Timor Timur.
Sumber :
  • www.army.gov.au

VIVA.co.id – Hari ini 17 tahun lalu, Presiden Republik Indonesia ke-3, Bacharuddin Jusuf Habibie, setuju untuk mengizinkan Pasukan Penjaga Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa ke Timor Timur (International Force for East Timor/Interfet).

Pengiriman pasukan multinasional ini untuk meredam kekerasan yang meletus pascareferendum pro-kemerdekaan pada 4 September 1999.

Melansir situs globalsecurity.org, kebijakan tersebut dikeluarkan di tengah meningkatnya tekanan masyarakat internasional terhadap situasi keamanan yang makin mengkhawatirkan di bekas provinsi ke-27 Indonesia itu.

Tak ayal, hal ini seperti membuat Presiden Habibie tak memiliki pilihan lain. Interfet di bawah kendali Australia, awalnya mengerahkan pasukan sebanyak 8.000 personel.

Mereka mengklaim bahwa tujuan utamanya untuk melindungi misi PBB, melindungi pengungsi, dan untuk menjaga bantuan kemanusiaan.

Di belakang Australia, ada juga Selandia Baru, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand, yang memberi dukungan.

Sementara Jepang, yang kala itu konstitusinya membatasi peran militer di luar negeri, mengatakan akan mempertimbangkan mengirim bantuan kemanusiaan dan keuangan.

Keterlibatan Australia, Selandia Baru, Portugal, dan Amerika Serikat sempat diprotes Indonesia karena dinilai tidak layak untuk terlibat dalam misi perdamaian.

Krisis di Timor Timur makin menjadi ketika AS mendukung operasi perdamaian itu dengan mengirimkan bantuan helikopter angkat berat dari kapal induknya yang bersandar di Australia.

Misi PBB untuk Timor Timur (Unamet) dibentuk untuk menyelenggarakan referendum di Timor Timur. Pilihannya apakah ingin merdeka atau tetap menjadi bagian dari NKRI.

Organisasi ini terdiri dari polisi dan pengamat. Referendum yang disponsori PBB digelar pada 30 Agustus 1999, dan hasilnya diumumkan pada lima hari kemudian atau 4 September yang mayoritas atau 78,5 persen menginginkan lepas dari Indonesia.

Putusan politik Habibie ini berujung pada penolakan laporan pertanggungjawaban di depan MPR/DPR, dan akhirnya diganti oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 20 Oktober 1999.