Pemerintah Harus Realistis Melihat Kondisi Ekonomi Nasional
VIVA.co.id – Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan bahwa pada tanggal 16 Agustus lalu, Presiden telah menyampaikan RUU APBN Tahun 2017 beserta nota keuangannya. Dengan dasar asumsi makro Pertumbuhan Ekonomi sebesar 5.3 persen.
Sementara dalam raker tanggal 01 September 2016 dengan Menkeu menyampaikan outlook Pertumbuhan Ekonomi sebesar 5.2 persen. Sedangkan Gubernur BI dalam paparannya menyampaikan asumsi Pertumbuhan Ekonomi di kisaran 4.9 persen -5.3 persen.
Menurut Heri, Usulan awal 5.3 persen dan outlook 5,2 persen itu masih terbilang tinggi. Harusnya pemerintah lebih realistis lagi mengingat kondisi fundamental ekonomi nasional yang masih ‘jungkir balik’.
"Ideal realistisnya pertumbuhan ekonomi masih akan berada pada kisaran 5.0 persen. Bahkan dari hasil pendalaman dan pembahasan Panja Asumsi Makro Antara Kemenkeu, BI, Bappenas dan Komisi 11. Panja memutuskan usulan Pertumbuhan Ekonomi sebesar 5.05," ujarnya di Senayan, Rabu 7 September 2016.
Untuk diketahui, kata Heri, mencapai pertumbuhan 1 persen itu tidak mudah. Kita butuh modal yang besar. Nah, selama ini investasi dan modal yang ada tidak efisien. Investasi yang masuk juga tidak mampu menggenjot pertumbuhan ekonomi.
"Lihat saja, pertumbuhan ekonomi triwulan II-2016 berkisar 5,18 persen yang didorong oleh sektor asuransi dan keuangan sebesar 13,51 persen. Tapi, perlu diingat, saat itu belum ada pemangkasan dan penundaan anggaran hingga ke daerah-daerah," ujarnya.
Sementara itu, ujar Heri, saat ini dan ke depan, kita sedang dan akan menghadapi tantangan di sektor keuangan yang lebih serius. Pada konteks ini, volatilitas paaar uang juga belum berpihak. Malahan, kepercayaan investor pada ekonomi Indonesia juga masih belum membaik.
"Kalau kita berharap pada utang, kita bisa lihat kepercayaan kreditor pada Indonesia juga merosot. Lihat saja, yield atau imbal hasil obligasi pemerintah dengan tenor 10 tahun, naik menjadi 7,11 persen. Artinya, kepercayaan kreditor juga belum baik. Dan ini pasti akan semakin menyurutkan niat investor," katanya.
Lebih dalam lagi, sambung Heri, dari sisi produksi, sektor andalan seperti usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan masih di bawah 12 persen. Sementara itu, sedang terjadi penurunan volume output di sektor pertambangan dan penggalian. Bahkan, pada triwulan II-2016 terjadi penurunan sekitar 1,01 persen.
"Segala situasi itu tentu harus menjadi perhatian serius pemerintah di tengah-tengah ‘gonjang-ganjing’ ekonomi global yang belum juga surut yang ditandai oleh perlambatan ekonomi di Pasifik dan penurunan harga komoditas. Belum lagi, reputasi nilai tukar rupiah yang tetap saja anjlok dan tidak kompetitif," kata Politisi Gerindra ini.
Eks Wakil Ketua Komisi VI ini menjelaskan, dengan asumsi pertumbuhan yang belum realistis tadi, maka keseriusan pemerintah untuk menghadirkan postur APBN yang kredibel dan bisa dipercaya akan dipertanyakan.
"Saya berharap, pemerintah fokus pada rencana yang sungguh-sungguh untuk kembali memenangkan kepercayaan pasar. Dalam konteks ini, cetak biru pembenahan struktural keuangan yang sungguh-sungguh dan benar sangat diperlukan untuk mendongkrak ekonomi nasional yang bisa bersaing, minimal dengan negara-negara tetangga. Jika tidak, dan tetap mempertahankan cara-cara pintas seperti berutang, maka tidak lama, keuangan kita pasti akan sangat terganggu," katanya.
Lebih jauh dijelaskan Heri, pemerintah telah membacakan nota keuangan RAPBN 2017 sehari sebelum hari kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Ia berpandangan, besaran nilai target, baik penerimaan maupun alokasi belanja dirasakan masih belum dan cenderung tidak realistis. Target penerimaan sebesar Rp1.495,9 triliun dan belanja sebesar Rp2.070,5 triliun masih terlalu tinggi untuk direalisasikan.
"Target penerimaan yang dipatok pemerintah mayoritas masih bergantung dari pajak, termasuk dari hasil tax amnesty. Sementara itu, hasil tax amnesty sampai saat ini masih jauh dari harapan. Bayangkan saja, hasil tax amnesty yang sudah sebulan lebih, baru terkumpul Rp1,8 triliun . Bandingkan dengan pre order HP Samsung Galaxy Note 7 yang dalam 2 hari bisa sampai Rp2 triliun," jelasnya.
Ia menilai, belanja pemerintah juga akan lebih banyak tersedot pada belanja rutin dibanding pembangunan infrastruktur. Orientasi seperti itu mengancam pelaksanaan program-program penguatan ekonomi rakyat dan kesejahteraan masyarakat, termasuk pengentasan kemiskinan yang masih ada di angka 28 juta orang. Belum lagi, pengentasan kesenjangan yang saat ini sudah mencapai hampir 50 persen.
"Selajutnya, yang membuat heran juga adalah tingginya target capaian pemerintah, tapi ditopang dengan alokasi belanja yang lebih rendah. Ini kan kurang masuk akal sehat. Dan kondisi itu, bisa mengganggu kredibilitas dan trust atas postur APBN yang ada," ujarnya.
Politisi Gerindra dari Dapil Jabar IV ini menuturkan, Postur APBN sepertì itu tidak akan mengubah banyak hal. Defisit yang hampir 3 persen, yang dibiayai utang hanya akan tersedot pada pembangunan infrastruktur yang bermakna sempit. Pemerintah sepertinya menihilkan makna infrastruktur sebagai pembangunan ketahanan ekonomi, daya beli, dan SDM.
"Sebab itu, kita perlu mempertimbangan ide dan masukan tentang perlunya postur APBN alternatif yang lebih berorientasi pada pembangunan ketahanan ekonomi rakyat yang riil sesuai konstitusi. Kembali ke jalan-jalan pembangunan kerakyatan yang benar-benar mengerti apa yang dibutuhkan rakyat," katanya. (webtorial)