Enam Temuan Kejanggalan Interkoneksi Versi Fitra

Ilustrasi pengguna menelpon
Sumber :
  • telkomsel

VIVA.co.id – Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyebutkan apabila Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melakukan proses perhitungan biaya interkoneksi secara transparan, maka tidak ada polemik akan interkoneksi antar operator.

Manajer Advokasi dan Investigasi Fitra, Apung Widadi, mengungkapkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara dinilai tidak transparan dalam menghitung biaya interkoneksi. Terlebih lagi, proses biaya interkoneksi hingga menghasilkan Rp204 per menit tidak diketahui asal muasalnya.

"Kalau dari awal proses pembahasan (interkoneksi) dilakukan secara transparan, enggak akan sampai ke ranah BPK, KPK, hingga Ombudsman. Kalau enggak ada masalah, kenapa enggak dibuka saja ke publik (proses perhitungan)," ujar Apung ditemui di Gedung Ombudsman, Rasuna Said, Jakarta, Senin 5 September 2016.

Terkait Surat Edaran Nomor 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016 yang mengatur penurunan biaya interkoneksi rata-rata 26 persen, Apung mengatakan pemerintah memang sudah jelas menunda implementasi biaya interkoneksi terbaru tersebut. Surat edaran itu dirilis pada 2 Agustus lalu dan ditunda implementasinya lantaran ada operator yang belum menyerahkan Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI).

"Melihat geliat publik hingga sampai ke BPK, KPK, dan Ombudsman yang ikut mengawasi, harusnya ditunda. Kemudian dilakukan perhitungan biaya interkoneksi dengan melibatkan semua hingga uji publik. Jadi, kalau misalkan ada, enggak ada masalah, tidak ada konflik kepentingan, kenapa takut dibuka ke publik. Seolah-olah tertutup," tuturnya.

Berdasarkan temuannya, Fitra menemukan kejanggalan dalam proses perhitungan biaya interkoneksi dengan dugaan mala-administrasi penyusunan kebijakan. Ada enam yang dinilai dugaan mala-administrasi, yaitu.

Pertama, proses penyusunan Kebijakan Penurunan Tarif Interkoneksi tidak transparan yaitu tanpa uji publik terlebih dahulu.

Kedua, dalam pembuatan kebijakan, hanya PT XL Axiata dan PT Indosat Ooredoo yang dilibatkan, sedangkan operator BUMN yaitu Telkomsel tidak dilibatkan.

Ketiga, ada komunikasi tertutup antara Menteri Komunikasi dan Informatika dengan PT XL Axiata dan PT Indosat Ooredoo melalui surat menyurat yang berisi formulasi penurunan tarif.

Keempat, surat Keberatan Telkomsel kepada Menteri Komunikasi dan Informatika tidak ditindaklanjuti.

Kelima, diduga yang menandatangani Surat Edaran (SE) adalah Plt Dirjen PPI bukan Menteri. Padahal seharusnya bukan dalam bentuk Surat Edaran (SE) tapi idealnya Peraturan Menteri.

Keenam, ada potensi konflik kepentingan antara Menteri Komunikasi dan Informatika dengan PT XL Axiata terkait latar belakang, dan belum ada pernyataan terkait konflik kepentingan ini.

Sebelumnya pemerintah telah menetapkan penurunan tarif interkoneksi sekitar 26 persen, yang akan dituangkan dalam Peraturan Menteri (Permen).

Dengan penurunan tersebut, maka biaya interkoneksi panggilan lokal seluler turun menjadi Rp204 per menit dari sebelumnya Rp250 per menit.

Perhitungan tersebut, sejatinya telah dilakukan sejak 2015, menggunakan payung hukum Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8 Tahun 2006 tentang Interkoneksi.

Hasilnya, penurunan biaya interkoneksi secara rata-rata untuk 18 skenario panggilan dari layanan seluler sekitar 26 persen. Rencananya, biaya interkoneksi yang dituangkan dalam Permenkominfo itu sedianya terbit pada 1 September 2016.