Riset Harga Rokok Rp50 Ribu Dipertanyakan
- Instagram/@putra_machena
VIVA.co.id – Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) Sudarto menilai, kenaikan harga rokok jika tidak didasari dengan pertimbangan dan riset yang jelas akan memukul industri dan para tenaga kerja.
Sebab, pada kenaikan cukai sebesar 11,7 persen saja sebelumnya sudah terjadi pengurangan tenaga kerja sebanyak 32.279 orang pada kurun waktu 2012 sampai 2015. Apalagi, bila harga dinaikkan sampai Rp50 ribu per bungkus rokok, tentu kenaikan cukai berkali-kali lipat besarnya dan dampak yang dihasilkan juga semakin besar.
“Sehingga, ketika dirumahkan (pekerja industri rokok), mereka tak mampu bersaing dan bekerja di industri lain. Dan, ini sangat berbahaya,” jelasnya dikutip dari keterangan resminya, Senin 22 Agustus 2016.
Adanya riset mengenai kenaikan harga rokok menjadi Rp50 ribu yang dikeluarkan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM – UI), membuat gelisah industri, tenaga kerja, dan petani.
Sudarto menegaskan, seharusnya riset mencari jalan keluar yang bijak bagi semua pihak, bukannya menyudutkan pihak-pihak tertentu. "Bila akibat riset itu banyak yang dirumahkan, siapa yang mau bertanggung jawab," terang Sudarto.
Selain tenaga kerja, hal lain yang diakibatkan atas dampak kenaikan harga Rp50 ribu adalah semakin banyaknya beredar rokok ilegal. Hingga saat ini, kata Sudarto, jumlah rokok ilegal berada di angka lebih dari 11 persen.
"Nantinya, tentu yang akan dirugikan adalah pemerintah karena penerimaan cukai akan turun," ucapnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Cengkih Indonesia (APCI), I Ketut Budiman mengatakan, riset yang dilakukan oleh orang yang kontra rokok tentu akan membuahkan ketidakadilan. Karena, hanya melihat dari satu sisi.
"Fokus mereka kan kesehatan, tetapi bagaimana dengan tenaga kerja dan petani, apakah mereka pikirkan?" katanya.
Budiman menegaskan, saat ini, produksi cengkih di Indonesia sekitar 100 ribu sampai 110 ribu ton per tahun dan sekitar 94 persen diserap oleh industri rokok.
"Jika nanti industri itu terganggu akibat kenaikan harga ini, mau di ke mana kan hasil cengkih ini?” lanjutnya.
Budiman mengatakan, jumlah petani cengkih di Indonesia mencapai satu juta orang. Bila produksi mereka terganggu, tentu akan mendatangkan masalah baru.
"Alangkah lebih baik, bila riset seperti itu digunakan untuk solusi yang tepat. Jangan berat sebelah tanpa memperhatikan kehidupan orang lain," tuturnya.
Sementara itu, Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Hasan Aoni Aziz menegaskan, industri tidak terpengaruh dengan isu tersebut.
"Sebab, kami yakin pemerintah tidak akan menaikkan harga secara semena-mena. Jadi, isu mengenai kenaikan harga rokok menjadi Rp50 ribu per bungkus itu kami anggap hoax,” ujarnya.
Aoni juga mempertanyakan metode riset yang menggunakan metode survei persepsi ini juga kurang tepat, sekarang apakah dengan kenaikan harga yang tinggi tersebut dapat menurunkan tingkat konsumsi rokok. Menurutnya, kenaikan harga seperti ini malah dapat menimbulkan kenaikan jumlah rokok ilegal.
Menurut Aoini, sebagai kepala lembaga milik negara, Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan FKM UI, seharusnya tidak mengeluarkan usulan yang akan merugikan pemerintah. Usulan kenaikan ini akan merugikan banyak pihak, karena industri ini kaitannya banyak, baik yang langsung, atau pun tidak langsung.
"Kami yakin pemerintah tidak akan menaikkan secara sekonyong-konyong, ada mekanismenya dalam menaikkan harga rokok. Jadi, kami tidak mau berandai-andai jika rokok sampai dinaikkan menjadi Rp50 ribu per bungkus," sambungnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pihaknya akan mengeluarkan kebijakan mengenai harga jual eceran dan tarif cukai rokok dengan sebelumnya memperhatikan Undang-undang (UU) Cukai, termasuk dalam rangka Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017.
Hingga kini, Kementerian Keuangan belum mengeluarkan kebijakan dan sedang dalam proses konsultasi dengan berbagai pihak. (asp)