Kominfo Tak Perlu Ragu Ubah Lagi Biaya Interkoneksi

Ilustrasi menara
Sumber :
  • Pixabay

VIVA.co.id – Tarif interkoneksi baru telah diumumkan pada 2 Agustus lalu. Kemenkominfo telah menyelesaikan perhitungan biaya interkoneksi tahun 2016. Hasilnya, penurunan secara rata-rata untuk 18 skenario panggilan dari layanan seluler dan telepon tetap itu sekitar 26 persen.

Penurunan tarif interkoneksi telekomunikasi merupakan transaksi antaroperator yang memungkinkan terjadinya panggilan off-net. Sementara tarif on-net adalah tarif yang dibebankan pada penggunaan jaringan yang sama. Tarif off-net dibebankan pada penggunaan lintas jaringan, misalnya, antaroperator.

Sedangkan biaya interkoneksi ialah komponen yang dikeluarkan operator untuk melakukan panggilan lintas jaringan. Biaya ini salah satu komponen dalam menentukan tarif ritel selain margin, biaya pemasaran dan lainnya.

Tarif interkoneksi telekomunikasi telah diturunkan pemerintah dari Rp250 per menit menjadi Rp204 per menit melalui surat edaran Kementerian Kominfo. Penentuan tarif interkoneksi itu dikritik mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Ridwan Effendi.

Ridwan menilai, dalam tarif tersebut, ada perlakuan tidak adil. Sebab operator yang sudah berinvestasi dan membangun jaringan ke daerah seharusnya mendapatkan tarif yang lebih dari yang telah ditentukan.

Dosen Institut Teknologi Bandung itu mengatakan, muara tarif interkoneksi jika ditarik lebih jauh muncul saat operator mendapatkan modern lisensi. Saat lisensi itu keluar maka operator harus menyertakan komitmen untuk pembangunan jaringan. Tapi faktanya, menurutnya, tak semua operator serius melaksanakan komitmen mereka.

Data yang dimiliki Ridwan menunjukkan peta operator. Telkomsel, yang telah hadir sejak 1995, telah membangun 118 ribu lebih BTS secara nasional. Sementara XL Axiata, yang lahir pada 1996, baru membangun lebih dari 59 ribu BTS sscara nasional, sedangkan Indosat yang muncul pada 1994 membangun lebih dari 52 ribu BTS secara nasional."Bia ya interkoneksi harusnya berbeda. Yang banyak bangun lebih tinggi (tarif interkoneksinya) dari yang sedikit bangun," kata dia.

Ridwan menjelaskan tarif interkoneksi Rp204 itu tentu sangat merugikan Telkomsel yang sudah membangun jaringan ke daerah. "Ada perlakuan tak adil, operator yang terus membangun tapi diminta turun (tarif interkoneksinya) yang jauh dari yang seharusnya. Telkomsel harusnya naik, malah turun Rp204," ujar Ridwan dalam diskusi di kawasan SCBD, Senayan, Jakarta, Kamis, 18 Agustus 2016.

Berdasarkan data yang dimiliki dan disimulasikan, Ridwan menemukan tarif interkoneksi bagi Telkomsel paling tidak Rp285. Selanjutnya, dia menegaskan peran Kominfo dalam tarif interkoneksi harusnya hanya menghitungkan saja, bukan menetapkan satuan tarif interkoneksi.

Landasannya, kata dia, sesuai aturan, sebelum menentukan tarif maka regulator harus mengumpulkan data hitungan tarif dari para operator, untuk divalidasi dengan kondisi operator. Dari validasi itu dicek apakah tarif yang diajukan itu sesuai dengan fakta pada laporan keuangan atau investasi operator. Usai validasi itu akan menghasilkan gambaran angka tarif atau dikenal dengan Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI).

Atas berbagai catatan tersebut, Ridwan meminta Kominfo agar legowo untuk mengubah tarif interkoneksi. "Kominfo enggak usah malu untuk hitung ulang. Bukan hal yang tabu atau ragu untuk menghitung ulang. Kalau ini salah, dampaknya parah, ada ketidakseimbangan."

(mus)