Penurunan Biaya Interkoneksi Bisa Diubah?
- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id – Penurunan biaya interkoneksi yang baru berupa surat edaran mengindikasikan bisa diubahnya aturan tersebut. Setidaknya ini yang dikatakan pengamat telekomunikasi, Sigit Puspito Wigati Jarot.
Menurut pria yang juga menjabat sebagai Ketua Forum 5G Indonesia (I5GF) ini, besaran yang diumumkan tersebut bukanlah angka final. Apalagi, pengumumannya masih dalam bentuk surat edaran, bukan Keputusan Menteri (Kepmen) atau Peraturan Menteri (Permen).
"Secara aturan bisa diubah melalui revisi dengan hirarki setingkat atau lebih tinggi. Ini hanya surat edaran, bukan Kepmen atau Permen,” katanya di Jakarta, Jumat, 12 Agustus 2016.
Sigit mengatakan, masalah metode perhitungan biaya interkoneksi bergantung kepada kebijakan yang diambil oleh pengambil keputusan, yakni Menkominfo, sesuai dengan UU 36/99 Tentang Telekomunikasi. Biasanya dengan melihat kebijakan kompetisinya, diseleraskan dengan keinginan mempercepat penggelaran broadband, atau bisa saja dianggap semua sudah cukup.
"Ini Menkominfo yang tahu persis kenapa akhirnya dipilih pola perhitungan (simetris atau asimetris) itu. Kalau soal berhitung pasti obyektif, pemilihan metode itu yang subyektif,” katanya.
Dia mengatakan, jika kebijakan yang diambil ternyata merugikan salah satu pihak dalam hal ini operator dominan yang banyak menggelar jaringan, keputusan itu tak menjadi insentif tetapi disinsentif.
“Belum telat untuk menerima masukan dari publik, kan masih dalam bentuk surat edaran,” katanya.
Salah kaprah
Sementara itu, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB, M. Ridwan Effendi menilai, jika Menkominfo cenderung salah kaprah dalam setiap pernyataannya terkait tarif interkoneksi. Hal ini berujung terjadinya polemik di industri telekomunikasi.
"Pertama, soal isu efisiensi. Kedua, soal harapan akan turunnya tarif pungut ke pelanggan kalau biaya interkoneksi diturunkan. Ini salah kaprah sekali," katanya.
Ridwan menjelaskan, biaya interkoneksi merupakan cost recovery bagi operator. Sementara tarif retail terdiri dari biaya interkoneksi, biaya aktivasi, dan marjin. Biaya recovery dibutuhkan operator untuk bisa terus membangun dan menjaga kualitas layanan.
“Cost recovery saat ini dipaksa di bawah harga jual. Ini sama dengan meminta operator merugi, terutama yang dominan dan sudah banyak bangun jaringan. Seharusnya menteri berani melihat biaya aktivasi dan marjin selama ini,” katanya.
Jika biaya recovery tak sesuai dengan kebutuhan membangun jaringan, dia menyebutkan, maka tujuan untuk infrastruktur broadband yang merata, tak akan tercapai.
Ridwan menyarankan, Menkominfo untuk kembali membuat penghitungan ulang biaya interkoneksi sesuai dengan dokumentasi publik, yang akan menerapkan regionalisasi, untuk melihat investasi yang dikeluarkan operator dalam membangun jaringan.
Dia menjelaskan, regionalisasi perhitungan data input biaya dalam perhitungan interkoneksi bertujuan untuk mengakomodir kekuatan sebaran jaringan yang berbeda antarpenyelenggara di setiap daerah ke dalam perhitungan biaya interkoneksi nasional. Bahkan regionalisasi perhitungan juga dibutuhkan agar Pemerintah dapat mengetahui biaya jaringan per regional yang dikeluarkan oleh penyelenggara telekomunikasi dalam menyediakan layanan telekomunikasi.
"Sehingga dapat digunakan oleh Pemerintah untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan dalam upaya pemerataan jaringan telekomunikasi,” sarannya.