Tax Amnesty Harus Tercapai atau Defisit Lewati 3 persen

ilustrasi/Pengampunan pajak
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Risky Andrianto

VIVA.co.id - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah memperkirakan adanya penambahan penerimaan negara dari uang tebusan para Wajib Pajak (WP) yang mengikuti program kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty sebesar Rp165 triliun.

Namun sampai saat ini, uang tebusan yang telah dikumpulkan pemerintah baru sekitar Rp84,3 miliar hingga akhir pekan lalu, terdiri dari realisasi deklarasi dan repatriasi di tahap pertama, atau masih terlampau jauh dari target yang sudah ditetapkan.

Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, saat berbincang dengan VIVA.co.id, mengatakan pemangkasan anggaran jilid kedua mutlak harus dilakukan pemerintah, apabila estimasi tambahan dana dari kebijakan tax amnesty terhadap penerimaan negara tidak sesuai dengan ekspektasi.

Josua menjelaskan, sampai dengan akhir semester I 2016, realisasi pendapatan negara dan hibah hanya mencapai Rp643,7 triliun atau 35,5 persen dari target yang sudah ditetapkan dalam Anggaran pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016 sebesar Rp1.786,2 triliun.

“Pilihannya cukup sulit. Kita lihat memang APBN perubahan kurang masuk akal. Misalnya dari kenaikan penerimaan PPh (Pajak Penghasilan) Non Migas. Padahal tetap, ekonomi masih mengalami perlambatan, khususnya di sektor riil,” jelas Josua, Selasa 2 Agustus 2016.

Menurut dia, tax amnesty memang saat ini menjadi satu-satunya tumpuan pemerintah dalam mengakselerasi penerimaan negara yang mayoritasnya ditopang oleh penerimaan pajak. Jika penerimaan pajak lesu, dan konsumsi belanja pemerintah terus meningkat, maka pelebaran defisit pun tidak bisa dihindari.

Hingga kini, realisasi belanja negara telah mencapai Rp865,4 triliun atau 41, persen dari pagu yang ditetapkan sebesar Rp2.082,9 triliun. Sementara target defisit yang ditargetkan, sebesar Rp296,7 triliun atau 2,35 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Josua mengatakan, memaksimalkan sosialisasi kebijakan pengampunan pajak menjadi harga mati yang harus dilakukan pemerintah maupun para pemangku kepentingan terkait, demi mengejar target tarif tebusan Rp165 triliun, yang akan disuntikkan ke negara.

“Sepertinya masih ada yang belum paham mengenai UU (Undang-Undang) tax amnesty. PMK (Peraturan Menteri Keuangan) sudah keluar beberapa. Nanti ada KMK (Keputusan Menteri Keuangan) juga. Ini perlu sosialiasi yang lebih dalam, karena belum begitu bagus yang menginterpretasikan tax amnesty,” ujar dia.

Terlepas dari kekhawatiran terjadianya pelebaran defisit tersebut, Josua mengaku tetap optimistis APBN akan jauh lebih realistis di tangan Sri Mulyani Indrawati sebagai bendahara negara. Pengalaman mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu diharapkan mampu membuat kas keuangan negara lebih berkelanjutan.

“Saya yakin SMI memiliki langkah jitu, karena sejak 2005-2010, beliau berhasil ekspansi data base para WP. Melihat track record tersebut, saya kira beliau bisa mencerna,” katanya.

Sebagai informasi, Bank Indonesia sebelumnya memperingatkan bahwa defsiit keuangan negara berpotensi melebih batas yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang Keuangan Negara sebesar tiga persen, apabila dana tambahan dari tax amnesty tidak sesuai target.

“Pemerintah harus siap pangkas anggaran lagi ke yang lebih prioritas. Atau jika tidak, defisit APBN-P 2016 bisa meningkat melebihi tiga persen,” ungkap Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara saat berbincang dengan VIVA.co.id beberapa waktu yang lalu.


(ren)