Industri Makanan Kemasan Jawara di ASEAN
Rabu, 27 Juli 2016 - 08:13 WIB
Sumber :
- Pixabay
VIVA.co.id
- Industri makanan kemasan di Indonesia menempati peringkat pertama dari segi ukuran pasar (
market size
) dibandingkan empat negara lainnya di ASEAN, seperti Thailand, Filipina, Malaysia, dan Singapura.
"Industri makanan kemasan (memiliki) market size di Indonesia terbesar kalau dibandingkan secara regional," kata Analis Riset DBS Vickers Securities Edwin Lioe di hotel Mulia pada Selasa, 26 Juli 2016.
Pada segi market size di ASEAN selama tiga tahun, dari 2015 - 2018, diprediksi, Indonesia menduduki peringkat 11,9 persen, disusul Thailand 7,5 persen, Filipina 6,5 persen, Malaysia 4,9 persen, kemudian, Singapura terendah, ysitu 3,4 persen.
Industri makanan ringan dan biskuit menjadi salah satu komoditi yang memiliki market size terbesar di ASEAN. Diperhitungkan dari 2015 - 2018 komoditi ini tumbuh hingga mencapai 10,8 persen.
Selain itu, komoditi makanan kemasan instan juga memperlihatkan grafik yang terus tumbuh menjanjikan dipasaran. Seperti makanan beku pencuci mulut, daging olahan instan, dan mi instan.
Ditambah, pertumbuhan minimarket seperti Indomaret dan Alfamart yang sangat pesat dapat memengaruhi langsung jumlah permintaan makanan, sehingga memicu semakin meningkatnya market size Indonesia.
Market size Indonesia berbanding terbalik dengan sisi tingkat penetrasi terhadap pendapatan per kapita Indonesia yang menunjukkan kelesuan pertumbuhan.
"Lihat pertumbuhan tiga tahun ke depan Indonesia juga yang paling besar untuk market size. Karena penetrasi Indonesia masih kecil jadi, tiga tahun ke depan dapat berpeluang naik ke angka 11 persen per tahunnya," tuturnya
Baca Juga :
Sedangkan, untuk Singapura konsumsi per kapitanya paling tinggi hanya bertumbuh dua persen ke depannya.
Edwin melihat penetrasi konsumsi per kapita terhadap industri makanan kemasan dapat meningkat, diantaranya dipicu dengan adanya peningkatan pada nominal Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi Rp 4,5 juta per bulan dapat memberikan sedikit ruang untuk pendapatan masyarakat yang dapat dibelanjakan (disposable income).
"Namun, dampaknya sangat minim melihat jumlah wajib pajak kurang dari 15 persen populasi masyarakat Indonesia," ujarnya. Lalu, dampak dalam jangka panjang dan tidak langsung dapat diberikan oleh adanya dana repatriasi tax amnesty.
"Kalau dana repatriasi masuk mungkin memengaruhi terciptanya peluang kerja. Uang beredar untuk konsumsi mungkin bertambah. Mungkin dari sisi itu dapat memberikan peningkatan pembelanjaan atau konsumsi. Secara berdampak tidak langsung," kata Edwin.
Ia menambahkan bahwa bukan berarti dengan adanya tax amnesty konsumen menjadi tambah kaya dan pertumbuhan konsumsi menjadi akan berlipat ganda.