Anggota Komisi II: Setiap Sistem Pemilu Ada Plus Minusnya

Ilustrasi rapat Komisi II DPR RI
Sumber :

VIVA.co.id – Terkait masih banyaknya silang pendapat anda sistem pemilu terbuka dan tertutup, Anggota Komisi II DPR RI Rahmat Hamka mengatakan setiap sistem pemilu pasti ada plus minusnya, tapi sekarang harus melihat dulu bagaimana arah demokrasi yang akan dibangun.

"Kalau seperti sekarang kita lebih mengarah kepada demokrasi liberal bahkan bisa lebih liberal dari sistem demokrasi yang ada di Amerika yang katanya kampiun demokrasi," ujar Rahmat di Senayan, Jumat 22 Juli 2016.

Rahmat menilai bahwa arah demokrasi sekarang sudah menyimpang dari demokrasi Pancasila yang dianut.

"Sebenarnya kalau kita ingin jujur bahwa arah demokrasi kita sudah menyimpang dari demokrasi Pancasila yang kita anut, dimana kedaulatan rakyat didasarkan atas permusyawaratan perwakilan, maka disini peran parpol harus diperkuat sehingga parpol diharapkan dapat bertanggung jawab penuh terhadap caleg yang diusungnya," ucap Politisi PDIP ini.

Ia menambahkan, mengkaji dan mengevaluasi dari sistem yang pernah diterapkan pada pemilu baik proporsional terbuka atau tertutup, maka agar dapat mengantisipasi politik transaksional dan hubungan emosional antar wakil rakyat dan rakyat, maka alangkah lebih baiknya sistem proporsional tertutup yang dilakukan.

"Jika memberlakukan sistem proporsional tertutup harus siap dengan konsekuensi membuat dapil-dapil lebih banyak dan kalau perlu dapil dibuat hanya untuk memilih satu orang wakil rakyat, jadi kalau akan memilih 560 anggota DPR RI maka ada 560 dapil," ujarpnya.

Dengan hal itu, kata Rahmat, yang terjadi sehingga masyarakat akan lebih mudah mengenal calonnya dan yang terjadi parpol pasti akan mempersiapkan kader partainya secara lebih baik dan yang punya kualitas dan kapasitas, kemudian yang terjadipun persaingan dengan kader parpol lain sehingga parpol akan semakin diuji juga melakukan proses perkaderan secara lebih baik.

"Hal ini akan membuat pendidikan politik semakin cerdas kepada masyarakat kemudian juga memudahkan masyarakat memberikan reward dan punishment baik kepada parpol maupun wakil rakyat yang terpilih kalau tidak sesuai dengan harapan mereka untuk pemilu berikutnya," ujar Rahmat.

Kendati demikian, Hamka menilai hal ini perlu dikaji kembali secara baik apakah hal ini diterapkan disemua jenjang baik DPR dan DPRD atau cukup DPR saja.

"Untuk DPRD, disesuaikan lagi perlu kajian lebih mendalam. Kalau selama ini kan satu dapil untuk menetapkan dan memilih tiga orang atau lebih wakil rakyat, sehingga masih kurang efektif dalam mempresentasikan perwakilan, karena bisa dari berbagai kader partai yang terpilih, masyarakat jadi bisa dalam menjalin hubungan emosional juga wakil rakyat terpilih karena dapilnya bersama untuk banyak orang bukan satu orang," katanya.

Sementara itu, pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago mengatakan pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri dalam rancangan revisi UU 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, atau yang lazim disebut UU Pemilu, kembali menguat silang sengkarut elite pengurus parpol antara yang ingin mempertahankan sistem proporsional terbuka dengan mengembalikan ke proporsional tertutup.

"Sistem proporsional daftar terbuka yang sudah kita laksanakan dalam dua kali pemilu, yakni pemilu 2009 dan pemilu 2014. Justifikasi logis yang dibangun, kelemahan sistem proporsional terbuka, melahirkan wakil rakyat karbitan yang masih belajar, belum teruji dan sebagian bukan kader terbaik partai, sehingga terpilih wakil yang gagal menjaga pintu (gate keepers)  moral dan tanggung jawab, alih-alih perjuangkan rakyat, fungsi pengawasan pun tidak maksimal," ujarnya saat dihubungi, Jumat 22 Juli 2016.

Ia menambahkan, dalam sistem proporsional terbuka rakyat berdaulat penuh. Namun realitas kondisi masyarakat yang masih lapar dan miskin, cenderung memilih wakil pemilik modal dan berduit, mengabaikan soal fatsun politik, moralitas apalagi kapasitas.

"Melihat bentangan emperis selama ini, trend proporsional terbuka melahirkan wakil rakyat instan, berbekal ekses kapital dan popularitas semata," jelas Pangi.

Selain itu, katanya konsekuensi proporsional terbuka, terjadi persaingan yang kurang sehat (politik destruktif) antar caleg dalam satu partai, tabiat ganjil kontestasi sesama caleg satu partai bukan berperang dengan partai lain.

"Adapun kelebihan proporsional terbuka, siapa yang akan duduk di parlemen memang sepenuhnya bergantung pada rakyat, bukan partai. Sistem proporsional terbuka, menjamin dan memastikan suara rakyat menjadi penentu siapa-siapa saja yang akan duduk di parlemen. Alokasi nilai-nilai secara otoritatif dari partai  kembali nampak," ujarnya.

Lebih lanjut dijelaskan, dengan dalih alibi, proporsional tertutup dianggap kembali ke sistem orde baru, menguatnya kembali sistem oligarki kepartaian dan menguatnya partai (struggle for power). Sementara itu, kelemahan sistem proporsional tertutup di antaranya menutup kanal partisipasi publik yang lebih besar, menjauhkan ekses hubungan antara  pemilih dan wakil pasca pemilu menjadi rentetan akumulasi kekecewaan publik.

"Proporsional tertutup juga membuat komunikasi politik tidak berjalan dan kesempatan calon terpilih lebih tidak adil. Tidak sampai disitu, krisis calon anggota legislatif (caleg) tak bisa di-elakkan karena sedikit yang berminat  dan serius maju jadi caleg, sudah bisa diprediksi siapa yang akan terpilih," kata Direktur Eksekutif Voxpol Center ini.

Itu artinya, sistem proporsional tertutup, partai berkuasa penuh, partai menjadi penentu siapa-siapa yang akan duduk di kursi parlemen setelah perolehan suara partai dikonversikan ke jumlah kursi.

"Ini serangkaian fakta emperis yang muncul irisannya ke tengah publik," katanya.  (Webtorial)